Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Membaca Tulisan, Membaca Penulis

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13022722291138967091

[caption id="attachment_100959" align="alignleft" width="350" caption="Just write (Gbr: yusufmaulana.com)"][/caption] Saya tidak terlalu tahu, kenapa saya memilih tema ini dan lalu mengaitkannya dengan Aceh. Karena saat pertama saya ketukkan sepuluh jari tangan saya, yang ingin dibicarakan cuma tentang dunia menulis. Kebetulan dalam bergaul, saya lebih banyak bergaul dengan mereka yang memilih dunia menulis. Tidak hanya di Aceh sebenarnya, tetapi juga ketika saya sedang berada di luar Aceh. Dan ini bisa jadi sesuai sebuah konsep yang acap sama kita dengar, bahwa seseorang cenderung berteman dengan siapa saja yang memiliki kesamaan ketertarikan. Sedikit kesimpulan yang saya dapatkan dari rekan-rekan yang berprofesi sebagai penulis, atau setidaknya gandrung menulis adalah: Pertama, mereka adalah orang-orang yang suka menyendiri. Kemungkinan pilihan demikian adalah ruang untuk mereka bisa lebih dekat dengan diri sendiri. Lebih mengenal pikiran sendiri. Juga lebih berkesempatan untuk menyelam ke dalam diri sendiri. Dengan begitu mereka cenderung lebih leluasa curahkan aliran pikiran dan perasaannya. Tak pelak, sikap mereka demikian membuat tulisan-tulisannya menjadi gigi-gigi drakula yang satu ketika kelak demikian membekas di pikiran dan perasaan siapa saja yang membacanya. Namun begitu, terkait dengan penyebutan bahwa seorang penulis cenderung menyendiri tidak mutlak benar, karena dalam beberapa kasus saya acap juga temukan penulis yang 'heboh'. Artinya mereka bisa bergaul dengan siapa saja dan memang memiliki kemampuan interpersonal yang sangat baik. Meski, beranjak dari sana, saat menulis, mereka juga membutuhkan kesendirian. Soal kesendirian ini pula, tentunya tidak serta merta betul-betul di tempat sepi. Terbukti, saya sendiri menulis tulisan ringan ini di tempat ramai (baca: warung kopi, Bandar Kupi). Kemudian, kedua, saya juga melihat bahwa teman-teman penulis kerap saya temukan adalah mereka yang memiliki kepekaan cukup kuat. Bahkan yang jauh-jauh hari belum terjadi, bisa mereka ramalkan kejadiannya yang kemudian memang benar-benar terjadi. Ini merupakan sebuah bentuk keajaiban. Lepas ada tidaknya yang disebut dengan self fulfilling prophecy seperti laiknya yang dikenal dalam dunia psikologi. Atau, ini juga tidak berkaitan dengan kepercayaan adanya indera keenam. Sebab, bicara indera demikian pun, kita kembalikan saja pada konsep: andai memang indera keenam itu ada, masak Tuhan tega memberikan hanya pada beberapa orang saja? Kembali lagi, seorang penulis saya sebut perasa, karena mereka kerap bermain dengan perasaannya. Perhatikan saja tulisan, entah yang bertema keluarga, lingkungan, dlsb bahkan sampai politik. Di sana akan diketemukan benang merah yang berkaitan langsung pada perasaan mereka terkait topik yang menjadi landasan inspirasi mereka. Dari sini, saya menyimpulkan bahwa, jika tertarik untuk lebih mengasah perasaan. Tidak ada jalan lain yang lebih mudah dinikmati, selain, ya menulis saja. Sementara ini secuil yang bisa saya rekam setelah membaca sekian tulisan dan sekian pribadi yang pernah saya kenal dan mencoba mengakrabi tulisan mereka. Wallaahu a'lam (ZA)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline