Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Hujan Jatuh Setelah Bunga Luruh

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Hujan jatuh di atap. Kutahu, air sudah tumpah sampai ke pipimu, anakku.


Terlalu lirih suara lelaki paruh baya itu. Bukan takut terdengar tetangga. Ia lebih khawatirkan akan didengar dinding. Oleh alasan, rumah yang didiaminya dengan 3 anaknya yang masih kecil-kecil itu hanya kontrakan. Bisa jadi bulan depan ia tidak sanggup membayar dan harus pindah lagi. Sedang dinding itu pasti tetap di situ.


Istrinya mati. Ketika sebuah peluru perang di tanoeh Aceh hinggap di leher ibu anak-anaknya itu. Leher indah yang kerap ia gumuli sampai 3 bocah itu lahir satu persatu.


Perang itu kejam. Merenggut istrinya. Sehingga ketika hujan seperti ini jatuh. Ia hanya bisa tatapi bantal yang kerap dijadikan alas kepala istrinya, Mala. Bantal dengan sarung yang sering diganti dengan jahitan tangannya sendiri. Takdir tidak ramah, selepas peluru itu singgah di tubuh Mala, bantal itu tidak pernah berganti sarung. Tak ada yang bisa jahitkan sarung dengan gambar bunga timbul di sana.


"Andai dengan membunuh serdadu itu, kau bisa hidup lagi. Ingin rasanya kulakukan itu. Bahkan meskipun ia sudah mati. Kuambil kerangkanya untuk kuletakkan di aspal untuk kupalu sampai lumat" Rintih Yasin, nama lelaki itu, tanpa suara."Aku tahu, peluru itu datang ke tubuhmu tanpa sengaja. Pun, aku tahu, kau tidak inginkan aku gila sedang anak-anak itu butuh ayah yang bisa sekaligus menjalankan peran seorang ibu...."

"Kutahu, peranmu tidak bisa sempurna kugantikan. Kecuali kau sendiri hidup kembali. Memberi usapan yang pasti lebih lembut di kepala mereka yang masih penuh mimpi indah itu." Jeritannya hanya di rongga dada saja.

"Tanganku, terlalu kasar untuk lakukan itu."


Entah hujan mendengar dan mengambil rintih lelaki itu, untuk kemudian disiramkan ke kuburan istrinya yang sudah sekian tahun mati. Tidak dipahaminya, bagaimana meminta pada hujan. "Suaraku tidak sepadan dengan sejuk hujan!"


Tak lama, ia tertidur. Di bantal peninggalan istrinya. Dan hujan masih jatuh. Sekarang mengalir ke hatinya. Sejuk. Seiring kelebat ayu wajah istrinya datang. Sayangnya hanya sesaat. Di mimpi saja.

Inspired by a real story in Atjeh after the war




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline