Kritikus itu hanya bisa lahir ketika mereka memang bisa lepas dari ketiak siapa pun. Entah itu ketiak yang diberikan untuk alasan memberi kenyamanan, kehangatan atau apa saja. Di luar itu tidak akan pernah bisa muncul kritikus. Tanpa mereka, semua sampah bisa terlihat sempurna ketika itu teronggok di depan 'rumah' seseorang yang terhormat.
Di sini, saya sedang terangsang menyimak fenomena dunia kepenulisan yang berkembang di internet. Lepas dari banyak yang secara 'santun' menyebut penulis di dunia maya sebagai penulis kelas dua. Namun, saya memperhatikan,"Seorang guru tetap seorang guru, entah dia belajar di sekolah paling tinggi atau paling rendah"---semoga tidak ada yang secara lugu menerjemahkan bahwa sah saja berinteraksi dengan pola menggurui.
Sudah terlihat sebuah logika bukan?
Yap, seorang penulis tetap seorang penulis. Entah dia dimasukkan ke kelas apa saja. Toh, saya yakin tidak terlalu banyak penulis besar yang memulai langkahnya dengan meramal dirinya sendiri terlebih dahulu bahwa ia memang akan menjadi penulis besar. Sebab jika demikian dilakukan, sedikit waktunya akan terkuras untuk menjalankan lelaku yang harus dipraktikkan seorang nujum dulu. Jelas itu buang-buang waktu.
Di sini, iya di sini. Karena jamak memandang bahwa dunia kepenulisan di alam maya cenderung lebih longgar ketimbang di media mainstream--sebuah penabalan dari mana, tapi secara tersirat sudah mendudukkan media maya berada di kelas di bawahnya--. Tak jarang, soal keberadaan kritikus sejauh 5 tahun terakhir yang saya pantau arus penulisan di dunia maya, bisa disebut nyaris tidak ada. Justru, yang kerap muncul, thok mereka yang cuma menyorot soal titik koma saja. Sedang yang lebih substantif dari itu hanya membenarkan pandangan bahwa penulis maya hanyalah penulis gagal. Gagal menembus ketatnya saringan di media arus utama. Juga gagal menaklukkan kebebalannya sendiri untuk tidak terlalu dini merasa sudah segala-galanya hanya dengan satu atau dua tulisan yang sudah dilahirkan.
Justru yang muncul adalah sebentuk ironi yang memualkan. Banyak yang merasa sudah mengkritik sebagai salah satu peran niscaya sebagai kritikus. Tapi, sejatinya yang sedang ditunjukkan tidak lebih dari sekadar omelan. Sedangkan omelan itu sendiri adalah jatah nenek-nenek untuk membuat rumahnya tidak sepi. Sayang jika itu pun direnggut dari dunia 'sang nenek'.
Perhatikan saja, ada beberapa media yang di sana terlihat berbagai diskusi yang satu sisi terlihat serius bahkan sampai berapi-api. Namun, ketika dicermati, yang lebih mencuat tidak lebih dari sebuah upaya menegaskan secara tersirat,"Saya lebih cerdas dari Anda." Jarang yang benar-benar pasang badan untuk mengkritisi hal yang memang penting untuk dikritisi.
Tanpa kritik, saya kira dunia penulisan di dunia maya hanya akan melahirkan pemimpi lajang yang merindukan indahnya malam pengantin. Tanpa pernah bisa melihat bahwa setelah malam pengantin juga akan diikuti oleh waktu ketika ia juga harus berhadapan dengan omelan istri karena--misal--nafkah bathin melebihi kebutuhan sedang uang belanja sama sekali tidak cukup!
Ada yang merasa tertantang? Atau khawatir akan dikritik balik?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H