[caption id="attachment_78313" align="alignleft" width="300" caption="Tersenyumlah lepas, Tuhan masih memiliki banyak tangan (Gbr: istimewa)"][/caption] Pernah mengenal gadis bernama lengkap Nasriati Chalilah? Ia seorang gadis enerjik yang sedang menempuh pendidikan di salah satu SMA di Meulaboh, Aceh Barat. Kenapa saya menulis tentangnya kali ini? Yap, gadis mungil dan bersahaja ini merupakan salah satu pelajar yang berprestasi di sekolahnya, SMAN I Meulaboh. Tapi, ia bukan saja seorang gadis yang hanya menang di kandang. Justru ia sudah pernah melanglang buana sampai ke Helsinki dan juga berkunjung ke beberapa negara di Eropa untuk sebuah kegiatan remaja internasional. Terkait dengan kunjungannya ke luar negeri tersebut, juga dikarenakan ia merupakan remaja yang aktif bergiat di sebuah LSM Anak, KKSP Meulaboh. Sampai kemudian, pada sebuah acara Festifal Anak Internasional, siapa nyawa gadis yang juga merupakan korban tsunami tersebut terpilih sebagai satu-satunya anak Aceh yang berkesempatan untuk menjadi peserta di Acara tersebut, beberapa tahun lalu. Saya sendiri, berkesempatan mengenal gadis brilian ini ketika sedang menjadi pembicara di acara kegiatan Workshop Jurnalistik Remaja yang juga ia ikuti. Sangat berkesan di pikiran saya, betapa, setiap saya memberikan tugas-tugas yang menjadi bagian dari isi pelatihan dimaksud, ia termasuk satu-satunya peserta perempuan yang berani menunjukkan kemampuannya dalam menulis. Sedangkan di Aceh, hingga hari ini harus diakui, jangankan seorang gadis kecil seperti ia, masih banyak perempuan yang jauh lebih dewasa tetapi masih tidak berani untuk menunjukkan diri. Sedang gadis ini, benar-benar membuat saya terperangah, bahkan dibandingkan dengan teman-temannya sesama peserta dari kalangan lawan jenisnya tidak berani meski sekadar untuk bicara mengutarakan pendapatnya. Padanya, ketika sedang obrol-obrol tentang menulis. Bagaimana menulis dan berbagai hal lainnya yang berhubungan dengan menulis. Saya katakan padanya, tidak penting banyak tahu apa saja yang bersifat teoritis. Tetapi, jauh lebih penting dari itu, dari apa saja yang sudah diketahui, sudah berani dilakukan ataukah tidak. Karena, tahu tetapi tidak dikerjakan sama saja dengan tidak tahu. Dari niatnya untuk juga bisa menulis, saya kemudian menganjurkannya sebuah saran, untuk bisa menguasai sesuatu coba untuk menjadi pergaulan dengan kesukaan pada kegiatan yang sama. Jika ingin menulis dan bisa pintar menulis, mulai dengan lebih banyak bergaul dengan penulis dan siapa saja yang memiliki ketertarikan untuk menulis. Maka, saya rekomendasikan padanya untuk juga manfaatkan Kompasiana untuk ia bisa menunjukkan kemampuannya menulis. Tidak sia-sia, ia kemudian melakukan yang saya sarankan. Setelah bergabung dengan Kompasiana, ia sering SMS ke saya, bahwa ia memiliki semacam rasa senang yang tidak biasanya. Selain bisa menulis, juga bisa bergaul dengan banyak teman yang ramah dan juga cerdas. Bahkan, sekali waktu, beberapa waktu lalu ia mengaku girang sekali ketika Aceh diguncang gempa, Iskandar Z, admin Kompasiana yang juga jurnalis di Kompas.com menghubunginya untuk menanyakan keadaan di sana. Seterusnya, beberapa bulan lalu, ketika saya sendiri masih luntang lantung sebagai gelandangan antara Jakarta dan Bandung, saya mendengar kabar dari seorang rekan di KKSP Meulaboh via SMS,"Bang, Ayah Nasriati meninggal dunia." Tak pelak, SMS tersebut ikut membuat saya sedikit terguncang. Bukan karena merasa sebagai lelaki yang sangat lembut, tetapi memang membayangkan ia harus hidup dengan seorang ibu yang bekerja serabutan dengan seorang adiknya. Sulit untuk saya menebak akan seperti apakah nasibnya. Sedang dalam beberapa obrolan via SMS, ia acap bercerita tentang keinginannya untuk bisa kuliah di Universitas Sumatera Utara (USU) yang tidak lain merupakan sebagai kampus paling diburu oleh calon mahasiswa di seluruh Sumatera, dari Aceh sampai Lampung, bahkan dari luar negeri seperti Malaysia dan Brunei, juga Thailand. Terlihat meski ia cerdas, namun ia begitu mencintai kedua orangtuanya yang setelah tsunami tinggal di rumah bantuan ukuran 3 x 6 meter (Nasriati dan keluarganya memang tinggal dekat dengan pantai Peunaga yang juga tergerus Tsunami pada 2004 lalu). Simak saja tulisannya yang bercerita tentang kesedihannya kehilangan dalam tulisan bertajuk: Kuberjuang tanpa Ayahku Lagi (di sini). Hati siapa yang tidak akan tersentuh. Melihat cita-citanya, dan melihat kecerdasan dan masa depannya. Apakah gadis ini harus melupakan harapannya? Dari kerisauannya yang disampaikan ke saya, beberapa kali, saya hanya bisa katakan padanya (masih lewat SMS juga), Tuhan sering bekerja tanpa dikte dari manusia. Dia tahu setiap pemberian yang pantas. Jangan risau! Lakukan apa saja yang bisa kamu kerjakan. Meski dalam hati, saya tetap berdoa, semoga Tuhan meminjamkan tangan-Nya untuk seseorang untuk bisa membantu si cantik yang cerdas ini Jakarta, 3 Desember 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H