Aha, baru kali ini saya tergerak setelah sekian lama di otak menggeliat keinginan untuk merenungkan tentang wudhu' Sebuah bagian ritual mencuci beberapa anggota tubuh yang menjadi syarat mutlak sebelum menghadap Tuhan, dalam Islam.
Yap! Wudhu' pasti sangat dikenal oleh masyarakat muslim sedunia. Tetapi, saat saya mencari-cari bahasan tentang wudhu' yang tidak hanya dari sudut pandang fiqh saja, ternyata nyaris tidak ada. Maka kemudian terbetik ingin untuk menulis tentangnya. Meski diawali dengan pertentangan cukup kuat dalam batin. Wong saya bukan ulama. Saya bukan orang sangat paham tentang Islam dan seribu dua alasan lainnya.
Tapi, bolehlah saya tulis saja, simpul saya saat memulai bulatkan tekad seperti bakso (bakso tidak terlalu bulat juga sebenarnya). Cuman kali ini saya tidak bisa menyebut bahwa tulisan ini mewakili orang-orang yang paham tentang Islam. Jadi, kalau misal ada anjuran-anjuran di dalamnya, boleh-boleh saja tidak diikuti. Toh, mendiamkan saja apa yang saya katakan tidak akan membuat Anda menjadi seperti sebagian umat Nabi yang harus alami kutukan karena tidak menuruti sabda Nabinya.
Terlalu ngalor-ngidul jadinya, ya? Uhm, baiklah.
Saya kerap tercenung setiap memulai melakukan kegiatan wudhu' tersebut. Iya, kenapa tangan yang harus lebih dulu? Kenapa kaki menjadi akhir? Sedang kalau melihat dari sudut yang agak filosofistik, bukankah kaki menjadi penyangga semua organ. Jadi kalau mengkaitkan dengan bangunan, maka yang paling dasar akan menjadi penentu sesuatu yang di atasnya akan tahan lama atau malah cepat ambruk.
Dengan segenap kedunguan yang saya miliki, ketika itu saya sempat mencoba mencerna-cerna hal demikian. Karena saya yakin wudhu' yang dititahkan Tuhan itu tidak sekadar cuci tangan agar tidak berkuman, cuci mulut agar tidak membuat orang-orang harus dilarikan ke rumah sakit karena pingsan mendadak akibat bau nafas dan lain sebagainya. Di sana ada hal lain yang lebih dari itu. Tetapi apa?
Bertemu seorang teman yang sangat paham Filsafat Agama, dan ia juga jebolan sekolah filsafat di Persia sana (ada yang tidak tahu di mana Persia?) kemudian malah menegaskan,"Agama bukan wilayah filsafat, Bo. Di sana bukan wilayah pikiran. Jadi ketika di dalam agama dititahkan melakukan sesuatu, lakukan itu! Don't ask it, why?"
Ya, karena sadar dengan kedunguan diri sendiri, jadi saya tidak mendebat lebih jauh, seperti misal; lha, Tuhan kan menyuruh untuk berpikir. Dalam al Quran sendiri toh malah disuruh untuk berpikir? Jadi, berpikir itu bisa terkait apa saja kecuali dalam beberapa hal saja yang dilarang Tuhan. Selebihnya tetap saja wilayah yang tetap zona bebas hambatan untuk berpikir, bukan?
Memang seperti itu orang-orang yang seperti saya, ditakdirkan untuk lebih melihat kegoblokan diri sendiri terlebih dahulu dan mendeteksinya dengan jernih. Kata orang memang melihat kegoblokan diri sendiri itu akan berbuah minder, kurang percaya diri dan beberapa efek samping lainnya.
Dikatakan begitu mungkin orang tersebut pernah mengalami diare akut, lalu meminum sedikit obat pengeras kuningan tapi malah tidak kunjung keras-keras juga. Jadinya, meniru Archimedes saat menemukan teorinya, orang ini berteriak Eureka! dan di kepala langsung mengambil kesimpulan bahwa jangan melihat kekurangan (diri). Sebuah kesimpulan yang memang terinspirasi dari susahnya ia mengeraskan kuningan.
Dan saya sendiri memilih menjadi orang yang tidak seperti cerita itu, artinya tidak berpikir bagaimana cara mengeraskan kuningan itu (lho?).