Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Berguru pada Batu, Belajar pada Kerikil

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_267299" align="alignright" width="300" caption="Tuhan mengajar bahkan lewat batu (Gbr: politikana.com)"][/caption] Berdiri di bawah matahari, memungut batu-batu yang lebih besar dari kepala. Memunggungi matahari yang kutahu tidak mengenal pelajaran keramahan. Menumpuk bebatuan itu di pinggir sungai, Krueng Nagan yang mengalir deras meski rejeki yang datang sama sekali kalah deras. Untuk kemudian dijual ke truk-truk yang singgah ke sana. Iya, harus kulakoni ketika itu di sela-sela menunggu perpanjangan kontrak di sebuah lembaga. Yang terpikir, hanya soal harga diri agar tidak ikut hilang seperti peluh bercucuran yang kemudian lenyap ketika melepas penat dan diusap angin.

***

Hidup terus berjalan bersama nafas yang terus terhembus, bersama rambut yang terus tumbuh. Di pinggir sungai, sambil menatap pasir yang dipukul matahari dan membentuk cahaya seperti kristal. Aku mencoba merenung, seperti sekarang yang juga sedang kucoba renung ulang. Tentang pasir yang harus menerima ketentuan yang ditulis entah oleh tangan siapa untuk tidak bisa bergerak kecuali ketika sesekali air sungai meluap dan kebetulan sedang membawanya serta. Mungkin ketika itu ia bisa berlega hati sementara untuk lepas beberapa lama dari pukulan matahari yang selalu saja sangar ketika tak ada mendung yang datang. Tapi, tidak kudengar ada suara pasir yang mengeluh meski mungkin selanjutnya ketika ia sedang  tenang di kedalaman sejuk sungai, ia harus kembali terhempas ke pinggir. Kembali bersisian dengan batu-batu, sedang air kembali surut, tidak lagi membawanya serta. Tidak ada puisi kekecewaan yang dituliskannya. Tidak gurat kegundahan ditunjukkannya. Ekspresi pasir-pasir seperti itu saja. Selebihnya, pikiranku membuka lembar-lembar buku yang pernah kutelan, masih di bawah terik matahari; bahwa kelebihan tidak harus membuat bangga yang terlalu berlebihan. Kepahitan pun tidak musti menjadi alasan untuk merengut dan berkeluh kesah dengan air muka yang berubah. Perenungan itu membantuku untuk menikmati sengat matahari dan bisa merasakannya sebagai belaian penguat, tidak terlarut pada ruang teduh nyaman di tempat bekerja bernama kantor. Uhm, Tuhan memang aneh, mengajarkan hidup bahkan lewat pasir. Jakarta, 24 Sept 2010 --------------------- Tulisan yang mengalir dengan ditemani musik Indian Spirit:




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline