[caption id="attachment_193038" align="alignleft" width="300" caption="Ayunkan langkah itu, Nak. Semasih bisa. Semasih keangkuhan negerimu sedang luput melihatmu (Gbr: Karawanginfo.com)"][/caption] Apakah ketidakberuntungan jika ibuku tidak berkesempatan untuk menulis cerita cintanya? Entahlah. Ataukah kemalangan karena bapakku pun tidak mengerti sastra. Tulisannya pun lebih banyak masih harus bertulis dengan ejaan lama, meski dari koran-koran yang pernah beliau baca sedikit-sedikit beliau mulai paham tentang ejaan yang muncul selepas Soekarno turun dari kursi yang ku tak tahu terbikin dari apa. Tapi, konon, seirama dengan kemunculan ejaan baru itu, kursi itu pun lebih menarik perhatian banyak penghuni negeriku. Entah seperti apa sampai kursi itu bisa sedemikian menarik perhatian banyak orang, bapak dan ibuku belum pernah jelaskan. Bisa jadi karena persoalan beda jaman, sampai untuk menjelaskan perihal itu pun, butuh proses lama, itu pun jika beliau--andai saja--bisa bersabar menjawab semua tanya anaknya yang bahkan ingin tahu termasuk hal yang tidak penting tapi diakuinya bikin pening. Ini hanya nukilan yang memusingkan bukan. Sedikit berhubungan dengan pengalaman subjektif, pengalaman diriku sendiri. Pengalaman yang terekam kembali saat merenung ulang persamaan dan perbedaan diriku dengan bapak dan ibuku. Tidak penting bagi Anda bukan? Mungkin. Berliku sekali sudah yang kutuliskan, padahal yang ingin kubicarakan hanya soal kursi. Dulu semasih mengaji di kampungku, kursi yang kupahami disebut Arasy, yang oleh guruku dikatakan diduduki Tuhan dan diusung oleh malaikat. Terkait kursi ini, pada referensi yang kutemukan kemudiannya dikatakan, Kursi itu tidak dipikul malaikat tetapi ia bertempat di sebuah alam yang tidak bisa didefinisikan bahkan oleh manusia yang paling dalam pengetahuannya sekalipun. Tetapi kucoba untuk tidak membingungkan sesuatu yang berhubungan dengan di mana Tuhan berada, sebab aku merasa sedang tertarik dengan masalah kursi yang berhubungan dengan manusia sendiri, kursi yang pernah gagal dijelaskan bapak ibuku dulu, disebabkan aku sudah lebih dulu tertidur persis ketika beliau sedang berpikir keras sambil menghembuskan asap rokoknya dan ibuku sedang menikmati bakoeng sugoe (tembakau untuk bersugi). Iya, kali ini teringat lagi soal kursi karena beberapa tahun lalu, ketika perjalanan waktu sedang tiba di masa awal tahun ajaran, seorang anak tetangga mengeluh karena untuk masuk ke sebuah sekolah harus berikan uang bangku terlebih dahulu untuk kepala sekolah. Saat orang tuanya tidak bisa penuhi permintaan kepala sekolah karena angka itu terlalu mahal, anak tetangga ini sempat merutuk di depanku, memplesetkan kepala sekolah menjadi "keparat sekolah." "Iya, penjahat itu bahkan bisa berada di rumah ibadah lho..." Kata seorang teman yang usianya jauh di atasku. [caption id="attachment_193042" align="alignright" width="239" caption="Aku belum tahu, kursi ini bisa dipinjam? (Gbr: Google Images)"][/caption] "Penjahat sekarang memang mencari tempat-tempat yang terlihat bersih agar bau tubuhnya itu dan gelap cahaya mukanya bisa tersamarkan oleh tempat yang mereka tempati." Jelasnya kemudian lagi. Karena aku sendiri tidak pernah merasa sebagai orang yang lebih tahu soal itu, maka kemudian memilih saja dan malah melanjutkannya dengan melamun. "Ternyata ini nih penyebabnya, manusia yang ingin belajar terbentur dengan arogansi pelaksana pendidikan karena kekuasaan yang berhubungan dengan pendidikan berada di tangan mereka. Kapan bangsa ini bisa cerdas?" Pertanyaan itu hanya bersarang di kepalaku, ini kucoba tuangkan berharap akan terbaca oleh siapa saja yang sudah menghapal aksara meski tidak runut. "Ada kursi lain sepertinya yang menjadi penyebab lebih parah..." Lamunku selanjutnya. "Uhm, kursi kekuasaan sepertinya mempengaruhi proses untuk mendapat kursi agar bisa mendapat pendidikan. Bukankah terkait kekuasaan, banyak tetanggaku juga yang harus kehilangan mobil-mobil dan rumah meski beberapa dari mereka tidak dapatkan kekuasaan karena angka rupiahnya kurang beberapa nol saja. Bahkan, mereka yang gagal menjadi penguasa ada yang bahkan meminta kembali pemberiannya pada beberapa tetanggaku yang menjadi pemilih, karena kegagalan mereka mendapatkan kursi..." Terkait dengan kursi untuk mencerdaskan otak lagi, coba menghubungkannya"...sebab kursi kekuasaan harus dibeli, kemudian kursi untuk belajar pun dipandang lumrah kalau kemudian juga melibatkan Matematika. Mungkin tujuannya untuk lebih terang angka-angka terlihat, agar kursi yang katanya bisa mencerdaskan itu bisa dipergunakan. Bahkan guru-guru pun segan padanya." Itu lanjutan lamunanku yang lagi dan lagi sangat mengada-ada memang. Memang, soal kekuatan uang benar-benar melebihi sihir. Bisa membantu seseorang menjadi lebih dihormati, lebih disegani, lebih leluasa untuk berbicara, juga lebih berkesempatan untuk bisa menapak di bumi tetapi hati dan pikiran berada di awan karena kelebihannya itu sering beralamat pada sanjungan dari mana-mana. Bahkan, kembali, guru harus menghormati siswanya. Sedang siswa cukup berikan uang saja pada guru dan sekolahnya, semua beres. Pada anak tetangga, saya cuma bisa 'menghasut', "Bukan sekolah yang penting, dek. Tetapi kemauanmu untuk terus belajar."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H