Setelah beberapa tahun mencoba jauhi televisi karena alasan anjuran seorang peneliti dalam salah satu buku yang pernah saya baca, dengan alasan bahwa televisi menghambat kelancaran otak dalam berpikir. Selama Piala Dunia berlangsung di Afrika Selatan, saya mencoba lebih ramah sedikit dengan televisi. Dalam arti, mencoba untuk izinkan mata dan mulut kerjasama. Kerjasama yang dimaksud, mata pelototi TV dan mulut melongo, mengeluh kadang-kadang disebabkan menonton sendiri secara 'tidak sengaja' ikut mengumpat oleh sebab iklan yang semakin tidak masuk akal, sampai dengan kaki pesepak bola gagal lesakkan si bundar ke gawang lawan.
Terkadang iseng saja, mencoba review ekspresi wajah saya sendiri saat melihat televisi. Ketika sedang menyaksikan bola bergalir dari kaki ke kepala, dari kepala ke kaki, sampai dari tangan ke kaki. Ekspresi wajah saya sepertinya selaras dengan gumpalan tanya di kepala saya. Dengan pertanyaan yang memang tidak ilmiah, tidak serius, dan terkadang juga mengada-ada. Dari keisengan tingkat parah sampai dengan keisengan yang masih bisa ditolerir--sepertinya hanya diri saya saja yang tolerir diri sendiri, kalau diketahui orang, ragu bakal ditolerir juga. Sebagian 'keisengan' itu saya catat:
Kekuatan Bola
Bola itu benda mati. Jika dikatakan salah satu syarat sesuatu layak disebut benda hidup adalah kemampuannya bergerak. Jadi, bola terkadang saya sebut sendiri sebagai benda yang hidup dan mati. Hidup dan mati bisa diasosiasikan dengan saat-saat riskan, keberadaan makhluk yang dasarnya hidup tetapi harus berada antara hidup dan mati. Entah mungkin disebabkan itu, menilik sejarah persepakbolaan, ada pemain yang mati tiba-tiba karena terlalu kelelahan. Pemain yang dibunuh penonton, dan konon ada yang bunuh diri karena frustasi. Di sini, benda mati saja bisa punya kekuatan sedemikian rupa.
Kelebihan bola dari Polisi
Bola itu benda mati. Tetapi terkadang kemampuannya juga tidak kalah dengan polisi. Bedanya, polisi adalah makhluk hidup, kecuali polisi tidur dan polisi yang sudah disandangkan gelar anumerta. Maksud saya, padahal masalah efek baik yang ditimbulkan dari perhelatan akbar itu yang ingin saya sorot. Iya, beberapa hari yang lalu, khusus Bandung, tempat saya berdomisili sekarang, angka kriminalitas menurun drastis di daerah yang disebut Paris van Java ini. Terkadang terpikir, polisi untuk bisa mengurangi angka kriminalitas harus bertaruh nyawa, sedangkan bola yang hanya berpindah-pindah dari kaki ke kaki dan ia benda mati lagi, malah bisa memiliki pengaruh begitu besar untuk turunkan angka kriminalitas. Bola dikejar-kejar pemainnya, sedangkan polisi mengejar pelaku kriminal. Bola yang dikejar pemainnya nun di negeri yang begitu jauh dari negeri ini, bisa turunkan angka kriminal di sini. Dari sini, kok saya jadi terpikir bahwa bola memiliki lebih banyak kemampuan, lintas wilayah bahkan benua dibandingkan dengan polisi (semoga tidak ada polisi yang membaca ini, tidak baik membuat mereka tersinggung).
Bola yang Menghidupkan
Bola itu benda mati yang menghidupkan. Tidak perlu saya sebutkan berapa gaji pemain bola, karena media seperti koran, televisi bahkan internet sudah terlalu kerap menurunkan data besaran gaji yang diterima pemain bola. Gaji pelatih. Omset pabrik pakaian dan lainnya. Konon, kemampuan itu membuat iri sebagian anak manusia yang harus bekerja di lokalisasi dan rumah bordil yang jelas-jelas makhluk hidup dan mempermainkan sesuatu yang hidup. Sebab mereka yang permainkan yang hidup tidak bisa memberi efek sedemikian jauh seperti halnya yang bisa dilakukan oleh si kulit bundar
Pelajaran Bola
Bola itu benda mati. Tetapi lihatlah popularitasnya, selain ia sendiri begitu populer dan disebut-sebut sebagai satu-satunya olahraga yang yang paling diminati penduduk dunia, juga ia bisa membuat sekian nama menjadi populer. Manusia, untuk sekedar popularitas bisa pertaruhkan segala-galanya. Sedang bola, dalam matinya bisa sedemikian populer. Satu lagi, ternyata meski ia makhluk mati yang memiliki kemampuan memberi pelajaran untuk kita manusia, juga untuk menyindir.
Sumber Gambar: Photobucket dan Flickr.com