Coba perhatikan cara masing-masing kita berbicara, dialek sepertinya menjadi bagian berbahasa yang unik dan idealnya dipertahankan. Cuman, masih banggakah kita dengan dialek yang sudah dimiliki dari kecil dalam berbahasa? Masihkah dipertahankan? Berikut secuil catatan saya yang berhubungan dengan soal dialek daerah.
Okey, bisa saja soal dialek itu bukan sesuatu yang istimewa. Hanya saja, jika memperhatikan dengan jeli di dalam dialek itu terdapat demikian banyak hal yang memang unik dan enak untuk mendengar. Nah, soal mendengar ini saya khususkan bagi yang menyukai nada-nada natural atawa alami. Dan, saya pastikan bagi mereka yang memiliki kejelian dalam mendengar nada itu pasti akan tertemukan sedemikian banyak bunyi yang saya sebut dengan nada natural ini.
Tulisan ini sendiri terinspirasi ketika saya berdialog dengan seorang rekan yang saya kenal via dunia maya. Saat sedang membahas soal trend menulis di dunia maya, pertama kali ia mendengar saya bicara ia justru berujar."Kok cara bicaramu tidak mirip dengan orang Aceh ya. Kamu memang Aceh asli?" Tentunya saya akui saja terus terang memang saya Aceh tulen meski jarang makan nasi pulen (tidak ada kaitannya, karena ini sekadar joke). Cuman soal cara bicara, spesifik saat pergunakan bahasa nasional terlihat tidak seperti umumnya orang Aceh, saya jelaskan mungkin karena soal pergaulan saja yang mempengaruhi alam bawah sadar saya dan kemudian secara sendirinya mempengaruhi saya dalam bicara. Entah penjelasan saya terlihat ilmiah atau tidak, tetapi setidaknya ketika coba renung-renung alasan demikian lebih masuk akal, lagi, paling tidak masuk akal saya sendiri (maaf, sedikit subyektif).
Memang, secara dari sononya, orang Aceh cenderung memiliki beberapa kekhasan dalam berbicara. Khususnya untuk lafalkan kalimat-kalimat yang terdapat huruf S, T, P. Sedang lebih khusus lagi untuk masyarakat saya di pantai barat Aceh, di sini justru untuk beberapa kabupaten seperti Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya umumnya menggantikan huruf L dalam kalimat (bahasa Aceh) menjadi huruf R. Jika masyarakat Aceh Selatan dan sekitarnya mengucapkan "Campri" (cabai, terj.) maka yang dimaksudkan adalah "Campli" dalam masyarakat Aceh umumnya.
Kemudian lagi dalam pengucapan huruf R. Masyarakat pantai timur terlihat lebih jelas mengucapkan R daripada masyarakat pantai barat. Dalam arti, masyarakat pantai timur Aceh akan mengucapkan R seperti umumnya kita mengucap R untuk menyebut ember, keteter, emperan dan kata-kata yang ada huruf R. Sedang pantai barat melafalkannya dengan gh, seperti orang Arab mengucapkan "ghain," "ghairil," dan sejenisnya. Nah, dialek itu, di dalam satu daerah saja bisa menjadi sedemikian berbeda.
Keluar dari keacehan, akan ditemukan tidak sedikit masyarakat Jawa yang masih medhok saat bicara, orang Batak yang masih menunjukkan dialeknya, Papua dengan kekhasannya juga dan beberapa daerah lainnya. Terkait ini, saya menyayangkan mereka yang bicara bahasa nasional tetapi kemudian meremehkan dialek dari daerah. Terkadang tindak peremehan itu acap juga memberi pengaruh pada perasaan si pemilik 'dialek khas' ini, yang terjadi kemudian, bisa jadi ia akan mati-matian mengubah dialek itu untuk tidak lagi terlihat kedaerahannya. Fenomena yang sangat lama membuat saya tercenung. Karena kebetulan itu juga yang dulu ketika awal-awal saya berinteraksi dengan masyarakat di luar Aceh ketika jelang akhir masa remaja saya alami, yang kemudian membuat saya mati-matian mengubahnya. Ini dikarenakan adanya perasaan bahwa diri saya aneh kalau masih bicara dengan dialek yang masih kental daerahnya. Sampai kemudian berujung pada cara saya bicara kemudian harinya yang jelas hampir tidak menunjukkan lagi dialek daerah saya sendiri.
Seiring perkembangan usia, merenung ulang yang pernah saya alami. Sangat bijak saya kira bagi mereka yang masih percaya diri untuk bicara bahasa nasional dengan pergunakan dialek mereka sendiri. Bali dengan dialeknya, Papua juga, Aceh, Medan dan Jawa juga masyarakat-masyarakat lain. Biar saja dialek khas itu tetap ada, dipertahankan saja dan tidak perlu seperti pengalaman saya dulu yang mati-matian mengubah dialek untuk bisa disebut sudah mahir berbahasa nasional dan terbiasa berinteraksi dengan orang-orang luar daerah yang kemudian. Karena sikap seperti pilihan saya yang pernah saya lakukan ini saya perhatikan (kemudian) sebagai sebuah ketidak-percayaan diri yang sangat akut dan tidak penting. Dan lebih tidak penting lagi jika masih ada anak bangsa yang sampai hari ini masih tersenyum mencibir meski dengan alasan canda di hadapan mereka yang masih bisa pertahankan dialek bicaranya dengan menunjukkan kekhasan daerahnya. Sangat tidak beretika saya kira jika melihat orang seperti saya sebut terakhir bicara dengan dialeknya malah dicibir atau malah dikritik agar ia mengubah ia berbahasa untuk bisa terlihat lebih menasional. Karena soal kekhasan demikian itu bukan satu hal yang teramat penting untuk diubah. Alasan saya, bisa jadi dengan kekhasan daerahnya ia selanjutnya bisa tetap berbicara dengan etiket yang juga sudah didapat di daerahnya. Daripada meninggalkan kekhasan itu, tetapi tanpa tersadari ia justru kemudian terlihat tidak beretika dan malah terasa kasar saat bicara.
Di sini, misal saya sendiri, dalam berbahasa sehari-hari, ketika sekeliling saya dengan leluasa mempergunakan kata "aku" atau "gua", "gue" dan sebagainya itu, saya mencoba untuk tetap pergunakan "saya" untuk menyebut diri sendiri. Dan pilihan sikap saya ini sebagai buah yang masih tersisa karena dalam etiket Aceh dalam berbicara terdapat tempat mempergunakan masing-masing ucapan untuk menunjuk diri (sebagai contoh). Misal, di Aceh, dianjurkan untuk pergunakan kata: lon, lon tuan, droe lon menjadi isyarat penjelas ia mengenal etika atau tidak, sopan atau tidak, berpendidikan atau tidak, tahu menghargai orang atau tidak.
Berbeda halnya ketika mempergunakan sebutan "Kee" untuk menunjuk diri sendiri, kemungkinan besar ini pilihan penyebutan yang terakhir ini seolah menjadi penjelas dari penggunanya sendiri bahwa: orang yang sedang Anda hadapi ini bukan orang beretika, saya tidak berpendidikan, saya bukan orang yang tahu menghargai orang, saya bukan orang yang peduli pada hal-hal yang kecil seperti itu.
Selanjutnya, merenung soal ini mengantarkan saya pada beberapa kesimpulan, dalam berbahasa atau bahkan hal lain yang bersifat jatidiri: Butuh kejelian dan kedewasaan untuk bisa memilah dengan tegas, apa saja yang perlu diubah dengan yang tidak. Butuh keberanian dan ketegasan untuk menunjukkan kekhasannya tanpa perlu merasa rendah diri dengan kekhasan itu. Butuh kedewasaan untuk tidak intervensi masing-masing individu terkait sesuatu yang sudah melekat padanya selama itu tidak mengganggu yang lain. Mesti bisa bedakan sebuah kelebihan dan kekurangan, soal jatidiri berbahasa semoga bisa dilihat sebagai sebuah kelebihan. Dan selanjutnya, mempertahankan kekhasan tidak sama artinya dengan upaya menghancurkan semangat kebersamaan dalam tingkatan nasional, justru dengan mempertahankan yang ada, sesuatu yang memang dari daerah makan persatuan di tingkatan yang lebih atas itu bisa makin kokoh.
Untuk itu, bagi rekan-rekan yang masih bisa berbahasa nasional dengan kekhasan daerahnya, sebaiknya pertahankan saja. Jika kemudian ada juga Anda dapati orang menngkritik itu atau justru menertawakan Anda, saya pastikan Anda berada pada posisi lebih tinggi darinya dan berikan penjelasan saja padanya bahwa ia harus mulai belajar lebih dalam tentang etiket dan bagaimana menghargai khasanah bangsa yang datang dari daerah (termasuk dialek), dan Anda tidak salah jika kemudian melihat 'kelas' orang ini berada jauh di bawah Anda.