Meski lebaran ini, tanpa tercatat, tetapi memang saya salah satu yang tidak bisa melakukan tradisi mudik disebabkan oleh soal rejeki yang jatuh ke kantong masih mirip dengan hujan rintik-rintik walaupun sudah mencoba menyosor tak kurang dari seekor itik. Lho? [caption id="attachment_254188" align="alignleft" width="300" caption="Nilai mudik semoga tertanam kian kuat di jiwa mereka (Gbr: google.co.id)"][/caption] Yap, bukan soal kantong saya yang penting untuk dibahas. Tetapi tentang tradisi mudik yang memang begitu mengtradisi ditengah masyarakat negeri ini. Sebuah tradisi yang di mata saya bukanlah sesuatu yang sederhana, namun memiliki sisi nilai yang tidak sederhana. Lihat saja, karena keitimewaan ini begitu banyak orang-orang yang mengadu nasib diberbagai belahan kota rela berpayah-payah untuk bisa pulang. Tak peduli soal jarak yang begitu jauh dengan resiko yang tidak lebih ringan dari kulit yang melepuh namun semua justru rela ditempuh. Bagi yang masih memiliki orang tua, mungkin berharap lebaran ini di kaki mereka ia bisa bersimpuh. Padahal, untuk tujuan itu, dengan malaikat maut ia juga rela bertaruh. Di depan sebuah kotak yang dikenal dengan nama televisi, saya hanya bisa melihat dengan terharu beragam polah mereka yang mudik. Sebagian terkendala dengan sekian banyak oknum yang menjegal di pelabuhan, seperti kejadian di Pelabuhan Merak tadi pagi (9/9), mereka terpaksa harus berdemo dulu agar aparat kepolisian yang seyogyanya membantu kelancaran mudik malah membuat perjalanan mereka terganggu. Juga, saya melihat dengan trenyuh angka tertulis di televisi, angka kecelakaan yang melampaui angka 700 kasus. Tapi animo masyarakat yang merindukan kampung halamannya tidak serta merta surut dengan semua kemungkinan itu. Tidak perlu masuk akal, tetapi ini layak masuk hati bahwa bangsa ini adalah masyarakat yang sangat apresiatif pada keaslian, pada jati dirinya. Untuk itu pula, saya kira menjadi sebuah alasan kenapa mereka rela berpayah-payah agar saat takbir berkumandang, di tanah kampungnya mereka bisa menggelar sajadah. Dalam tradisi mudik ada nilai cinta yang diungkapkan langsung dengan sikap, tidak sekadar seperti remaja yang jatuh cinta yang ucapkan cinta tapi sama sekali tidak mengerti maknanya. Tidak percaya, lihat saja, uang yang mereka kumpulkan setiap hari di tengah terik panasnya kota mereka kucurkan untuk beralih ke kantong-kantong sepupu, saudara-saudara mereka yang mungkin tidak setebal mereka. Mereka berbagi dengan sepenuh cinta. Saya tidak melihat ini sebagai ajang pamer kekayaan, pamer kemapanan, karena yang demikian itu lebih layak disebut sebagai tuduhan yang--maaf--tidak bermoral. Kesediaan mereka yang mudik untuk berbagi dengan keluarganya di kampung saya yakini sepenuhnya karena cinta. Cinta dan kerinduan karena mungkin hanya bisa mudik setahun sekali atau bahkan bertahun-tahun hanya sekali. Sangat tidak layak, jika kebesaran hati mereka untuk berbagi kemudian malah direkatkan dengan tuduhan yang--lagi--tidak mendasar sebagai bentuk pamer atau unjuk diri. Dalam tradisi itu juga mencerminkan semangat kekeluargaan yang tinggi. Soal ini juga, saya pikir tidak tepat jika menyebutnya sebagai sebuah hal yang tidak perlu. Karena dalam semangat kekeluargaan itu pula justru membesar semangat persatuan, ini pun kalau meyakini bahwa sesuatu yang besar itu tumbuh dari banyak hal yang kecil. Bayangkan jika semangat kekeluargaan sama sekali tidak ada, dari mana bisa diharapkan datangnya semangat persatuan yang memang masih sangat dibutuhkan oleh negeri yang termasuk salah satu yang terbesar di Asia ini? Pada tradisi mudik ini juga mengajarkan nilai-nilai keikhlasan, karena nilai ini maka para pemudik tidak memedulikan masalah beratnya medan yang ditempuh, jarak yang jauh, dan bisa memupus jenuh. Di samping banyak nilai lain semisal kesabaran yang juga akan lebih ditempa dengan pilihan mereka untuk mudik.
***
Di handphone, seorang rekan yang sudah seperti saudara sendiri, Hazmi Srondol mengirim SMS,"Saya dan keluarga sudah tiba di Jambi." Karena memang istrinya orang Jambi. Dan saya hanya bisa bersyukur untuk mereka yang berkesempatan untuk bisa melakukan hajatan ini. Semoga, kelak nilai-nilai itu semua bisa semakin kuat saat harus bertarung kembali dengan keberingasan kota-kota tempat mereka mencari nafkah dan mencari hidup. Kendati saya sendiri, untuk sekarang hanya bisa mengenang saat-saat masih bisa berlebaran dengan keluarga di kampung dari sejak puluhan tahun lalu. Bandung, 9/9-2010 (mencoba menulis dalam kondisi sakit. Ternyata sakit tidak menjadi halangan menulis)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H