Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Cuma Tentang Ibu Jari Kok!

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_231990" align="alignleft" width="300" caption="Jangan lihat kursi indah saja, pren (Gbr: fun-4u.blogspot.com)"][/caption] Seharusnya memang kita harus terus berguru. Tetapi kebebalan kita sendiri kerap menolak untuk digurui. Untung aku tidak (lagi) menjadi guru. Saya mencoba buka mata. Memang tidak mudah menemukan orang yang mau digurui. Kecenderungan yang paling mudah ditemukan adalah orang-orang yang enggan digurui, ironisnya ia sendiri suka menggurui. Tapi, jangan merasa saya sedang menyindir Anda, sebab ini sebenarnya adalah kecurigaan saya pada diri sendiri. Iya, saya itu benar-benar orang yang sangat mencerminkan karakter seperti yang saya sebut sendiri di atas lho. Dan ini tidak mengada-ada. Tidak suka digurui, tetapi suka menggurui. Dan bersyukur sekali setelah saya mengakui itu, nantinya saya beroleh cibiran. Pengakuan dengan jujur atas sebuah kelemahan, lantas beroleh cibiran seperti itu, dalam pikiran saya yang memang belum layak disebut cerdas ini, masih lebih baik dari sekadar mendapat pujian yang malah membuat saya semakin berkutat berpikir untuk menutupi kekurangan-kekurangan dengan kepalsuan-kepalsuan. Memang, entah Anda mengakui bahwa ibu jari lebih disukai dari jari tengah dan jari manis. Meski sebenarnya jari tengah lebih tinggi dari jari lain, dan jari manis sering terlihat lebih manis karena acap dipercaya untuk bertengger cincin-cincin indah. Saya teringat, seringkali, orang akan sangat emosi ketika di depan hidungnya ditunjukkan jari tengah. Tidak percaya? Coba saja buktikan. Terkadang bicara ibu jari yang tanpa acara aqiqahan diberi nama jempol itu, memang unik. Meski terlihat lebih gendut dari jari lain, tetap juga lebih punya kemampuan bikin banyak hidung menjadi kembang kempis. Bikin dada banyak orang kian membusung. Dan juga bikin banyak orang lebih memilih untuk tengadah, meski ia tahu tengadah seperti itu membuatnya bisa saja tidak tahu sekian banyak lobang yang berada di sekian panjang jalan yang bakal dilaluinya. Terjerumus ke sana, dengan kaki patah dan kesulitan untuk bicara. Sayangnya, banyak orang malah akan menunduk hanya saat kakinya patah, dan merasa sangat tidak bijaksana ketika kedua kaki itu masih sehat dan sempurna bisa merendah dan tidak perlu hentak-hentakkan kaki. Dan kembali lagi, soal ibu jari tadi. Ibu jari itu saya curigai diciptakan Tuhan dari sebagian api neraka, karena dengan ibu jari iru juga banyak sekali orang bangga menjadi manusia palsu. Ibu jari seringkali menjadi antitesis dari kebijaksanaan. Ibu jari acap bikin orang pongah dengan semua ketidaksempurnaan yang dirasanya setara dengan kemampuan Tuhan. Sampai kemudian, yang terjadi seperti itu tadi, orang merasa lebih bangga menggurui tapi sangat sedikit yang dengan rendah hati mau digurui. Selanjutnya ibu jari itu sendiri yang bertindak sendiri berubah arah, dari mengacung ke atas menjadi mengarah ke bawah. Dan ternyata ibu jari itu mengarah ke bawah untuk orang-orang yang justru menyembahnya. Sekarang, siapa yang kita sembah? Jakarta, 19 Agustus 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline