[caption id="attachment_196461" align="alignleft" width="202" caption="Jangan-jangan kita ragu dengan kemampuan Tuhan dalam mengdiagnosis (Gbr: Google Images)"][/caption] Beberapa hari lalu, saat dalam perjalanan dari Subang pulang ke Bandung. Di seputaran Ciater, menyeruak aroma menusuk hidung seakan memenuhi mobil kami. Seorang teman nyeletuk,"Siapa yang kentut?" Sama sekali saya tidak tahu, saya sedang berada di tempat apa sebenarnya, karena dari dalam mobil tidak bisa terlihat apa-apa disebabkan gelap malam. Maka ketika teman ini menanyakan siapa yang kentut, sedikit sok bijak saya menukas,"Hati-hati lho, yang pertama kali merasakan aroma kentut, seringkali adalah orang mengeluarkan kentut itu sendiri." Tak lama, malah tawa ngakak teman-teman semua. Di sini, kelemahan saya, karena memang selama ini tidak pernah mengunjungi kawasan tersebut dan belum mendapatkan informasi apapun terkait kawasan Ciater, selain cuma mengenalnya sebagai salah satu kawasan wisata yang ada di Bandung. Pernah juga mendengar adanya uap belerang di kawasan dimaksud, tetapi karena memang belerang itu saja cuma saya dengar namanya saja, tidak pernah bisa bayangkan aromanya seperti apa, karena jelas memang belum pernah mencium aromanya. Maka sepanjang perjalanan itu, saya cuma bisa kernyitkan kening tidak mengerti. Ketika sudah memasuki Bandung, di Jalan Setia Budi, baru salah satu teman beri tahu, bahwa lokasi yang tadi disebut-sebut bau kentut itu adalah Ciater dan bau yang tercium menyengat itu bukan kentut, melainkan aroma belerang itu sendiri. Terang saja, saya cuma bisa melongo. Yang terpikir cuma, jika di dalam mobil saja yang berjalan cepat bisa tercium demikian, kenapa bisa ya penduduk di sana bisa tinggal menetap di sekitar lokasi tersebut? [caption id="attachment_196467" align="alignleft" width="300" caption="Mungkin mata kita lebih merasa tenang melihat kegelapan daripada cahaya, entahlah (Gbr: Google Images)"][/caption] Sebenarnya itu sah juga kalau kita katakan sebagai sesuatu yang tidak perlu dipikirkan. Tapi saya berpandangan bahwa ada pelajaran juga yang bisa ditarik. Ada aroma tidak enak di satu sisi, dan kecenderungan manusia tidak menyukai aroma yang bisa dikatakan busuk, dengan adanya sisi kontras manusia juga yang seperti tidak merasa terganggu dengan aroma itu bahkan bisa hidup di sana. Kontradiksi yang tidak aneh, bisa jadi. Karena, dari sana terlihat pengaruh kebiasaan. Dalam arti sudah terbiasa menghirup aroma demikian, sehingga seiring perjalanan waktu maka hidung mereka sudah bisa beradaptasi dengan keadaan tersebut. Tidak aneh jika selanjutnya mereka tidak merasa terganggu lagi, apalagi memang kemudian jamak mereka tahu kalau aroma belerang itu malah membantu mereka untuk sehat bahkan bisa membaguskan pernapasan sampai bisa sembuhkan asma bagi yang menderita penyakit asma. Lebih jauh lagi, saya jadi teringat dengan aroma kentut yang sebenarnya, jika sampai terhirup setelah dikeluarkan orang bisa bikin mood mengendur, darah tinggi, kejang-kejang, impotensi, kelainan janin dan gangguan jantung dan tidak baik untuk pencernaan (lho?). Nah, bau belerang yang sebenarnya tidak jauh-jauh dari bau kentut bisa memberi efek yang jauh lebih baik. Lagi, kontras. Teringat lagi, pil pahit yang diberikan dokter dengan tenang bisa ditenggak oleh manusia, karena diyakini bisa menyembuhkan. Kok pil pahit yang diberikan Tuhan lebih sering membuat kita gelisah ya? Jangan-jangan kita ragu, takutnya Tuhan salah mendiagnosa dan salah memberi obat dan terapi? Wallahu a'lam. Kontras juga ya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H