Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Dosa Media, Pulitzer sampai Ariel and Partner in Sex

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

[caption id="attachment_203861" align="alignleft" width="230" caption="Manusia jurnalis, manusia beragama jurnalisme atawa jurnalis manusiawi? (Gbr: Google Images)"][/caption] Ketika berkaitan dengan Ariel and Partner in Sex-nya, lalu serangkaian  kasus pemerkosaan mencuat maka yang berdosa tidak hanya pelaku, tetapi malah juga media. Tapi tunggu dulu, jangan berharap saya menulis terlalu serius di sini, karena alasan saat menulis ini, saya membagi konsentrasi dengan mendengar rekan Iskandar Zulkarnaen memaparkan materi Kompasiana Blogshop di Gedung Jakarta Expo. Tapi saya mencoba mencuri kesempatan untuk tetap menulis, karena memang ada bahasa pemateri yang menyorot soal apa yang mesti menjadi prioritas bagi seorang jurnalis, apakah kemanusiaan ataukah pengabdian pada dunia jurnalistiknya. Pertama, secara tiba-tiba saja pikiran saya mengawang ke salah seorang jurnalis yang menerima hadiah Pulitzer, sebuah penghargaan prestatif untuk jurnalis, setelah ia berhasil merekam detik-detik menegangkan menuju kematian seorang bocah kecil di salah satu negara di Afrika yang sedang  dilanda kelaparan, ketika itu. Dari kasus jurnalis ini, tidak sekadar soal penghargaan prestise di kalangan jurnalis itu yang menarik perhatian saya--sedikit subjektif--tetapi ekses dari itu, ketika jurnalis penerima hadiah tersebut mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri karena dimakan rasa bersalah atas kematian bocah kecil yang berkunjung ke 'rumah Tuhan' namun memberi sumbangan dalam kelaparannya untuk jurnalis tersebut (baca: Pulitzer). Di sini, saya mencoba merenung, apakah seorang jurnalis harus berbakti sebagai 'anak' yang manis pada jurnalismenya dengan menafikan hal-hal krusial, mendesak dan sejenisnya yang berkaitan dengan kemanusiaan, ataukah kedepankan kemanusiaan dan tidak melulu didikte oleh 'agama' jurnalisme yang dianutnya? Dan, terkait ini, saya melamunkan, andai jurnalis bisa kesampingkan dikte jurnalistik dan lebih tegas memihak kemanusiaan. Tapi, berhubungan dengan ini, saya juga tercenung lagi dengan celetukan teman,"Elu mau jadi jurnalis atau pekerja kemanusiaan?" [caption id="attachment_203868" align="alignright" width="206" caption="Sebaiknya menjadi jurnalis lucu saja, hehe (Gbr: Google Images)"][/caption] Kembali ke kasus Ariel and Partner in Sex, saya melihat ekses pemerkosaan yang menjadi rentetan selanjutnya sebagai bagian dari dosa media juga. Lha wong, mereka yang libidonya naik itu terbukti  kemudian menguber video dimaksud justru setelah di-blow oleh media. Kembali saya terngiang di ingatan saat media di mana-mana dulu, setidaknya tahun 90-an, jika ada kasus yang berhubungan dengan asusila, seringkali pelaku disamarkan namanya dan wajah pelaku juga dibikin blur. Dengan begitu, pembaca berita tidak terlalu terdorong hasrat yang sudah ada dari sejak jaman batu sampai jaman cyber ini (masa depan, katanya akan lebih banyak jalan keluar), karena diakui atau tidak, sesuatu yang terjadi apalagi dilakukan oleh public figure akan lebih kuat memberi pengaruh daripada sekadar orang-orang seperti saya (lho?). Aduh, sepertinya saya saja yang berpikiran terlalu konservatif atawa kuno ya? Wallaahu a'lam ---------- Jakarta, 25 Juli 2010 Note: Just melatih konsentrasi menulis dengan tetap mendengar




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline