Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Pengakuan Pencuri Buku

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_162026" align="alignleft" width="188" caption="Buku lusuh takkan disentuh oleh manusia angkuh (Gbr:bp3.blogger.com)"][/caption] Puluhan buku teronggok saja di sudut perpustakaan yang jarang dibuka. Berdebu. Kudekati, menyentuhnya dan membaca beberapa halaman. Lalu, bawa pulang. Itu terjadi belasan tahun lalu ketika saya masih ibtidaiyah. Dalam amatan saya, buku-buku yang sudah teronggok seperti itu lebih sering jadi makanan api alias dibakar. Melihat angka tahun yang tertulis di sana, memang sangat tegas menunjukkan angka masa-masa zaman revolusi. Huruf yang ada sama sekali tidak ada "u", "c", "j" tetapi oeang, ketjapi dan djandji. Pikir-pikir, daripada disantap api, mending saya saja yang santap. Entah mungkin wajah saya yang nampak alim atau bagaimana, setiap saya ambil untuk bawa pulang walaupun di depan guru, sama sekali tidak ditegur. Itu sinyal yang saya tangkap, ini pencurian yang sah. Dari buku-buku berejaan lama itu, seringkali saya dibuat seperti orangtua. Terkadang dalam diskusi yang melibatkan orang dewasa, tak jarang saya juga ikut nimbrung. Sok tua menjadi efek dari membaca buku yang memang dulunya dikonsumsi orang-orang tua itu. Sampai sekarang, sering tercenung mengingat itu. Betapa, sesuatu yang nampak lama, tua lebih sering tidak menarik perhatian. Maka, dari sana saya merasa layak untuk berbangga karena memang saya satu-satunya yang tergerak untuk mengambil dan membaca buku-buku tua tersebut. Tidak peduli kupasan yang ada di dalam buku-buku itu tergolong berat untuk saya yang masih belum 10 tahun. Namun, berat tidak menjadi penghalang untuk saya melahap buku tersebut sampai kenyang (kok jadi disamakan dengan nasi goreng?). Efek lebih lanjut, meski terkadang harus menjadi bocah yang sok tua, tetapi ada juga efek yang membanggakan dan lebih punya daya untuk membuat dada bisa busung. Dengan begitu saya bisa terus berprestasi di sekolah. Beberapa kali dipercayakan sebagai Ketua Kelas dan mendapat peringkat I di kelas. Lumayan bisa mencegah busung lapar (terakhir ini--busung lapar, sesuatu yang saya akui mengada-ada). Namun, secara tegas, saya merasakan pencurian itu adalah bentuk dan sikap saya menghormati ilmu. Buku yang nyaris dibakar, saya ambil untuk saya baca. Terasakan sekali kaidah ilmu yang menyebutkan,"seseorang yang menghormati ilmu maka ilmu pun [caption id="attachment_162028" align="alignright" width="202" caption="Rendah hati di hadapan ilmu menjadi jalan tol untuk ilmu itu merasuk dalam jiwa, meski untuk itu kita tidak harus disebut pintar. Karena orang bijak tak ingin disebut pintar (Gbr: bp3.blogger.com)"][/caption] akan membuatnya terhormat." Kalimat yang belum sepenuhnya mengejawantah dalam hidup, tetapi sedikitnya terkadang saya rasakan. Dan ini juga tidak lepas dari pelajaran dari Bapak yang walaupun hanya jebolan SD di kampung beliau, Gampoeng Latong, Nagan Raya, namun dalam menghormati ilmu, beliau jadi guru pertama saya. Bagaimana tidak, beliau tidak akan pernah izinkan ada buku yang tercampak di lantai. Tidak boleh ada buku yang sobek bahkan buku-buku yang sampulnya mulai mengelupas dengan tulus beliau perbaiki. Pun, meski beliau bukan seseorang yang terlalu "wah" dalam hal pendapatan, namun jika saya minta dibelikan buku, biasanya beliau rela untuk mencarinya meski harus ke Meulaboh yang ketika itu masih menjadi pusat kabupaten sebelum terbentuknya Kabupaten Nagan Raya yang merupakan pemekaran dari Nagan Raya. Nah, bicara menulis dan membaca, saya kira itu merupakan bagian dari mekanisme untuk mendapat dan mengasah ilmu. Hal itu tidak akan mudah dilakukan bagi siapa saja yang tidak mampu menghormati ilmu. Teringat kalimat Ali K.W: Ilmu hanya mungkin didapat oleh orang yang mau berkorban dan selalu rendah hati di hadapannya. Semoga, catatan kecil ini memberi inspirasi untuk kita semua. Saya percaya, Indonesia ini bisa menjadi lebih baik dan lebih beradab hanya dengan ilmu, dengan buku yang menjadi 'simbol' dari ilmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline