Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Konsistensi

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_54768" align="alignleft" width="300" caption="Dunia di tanganku, akhirat di hatiku (Gbr: Reading Islam)"][/caption] Kejujuran nyaris menjadi mayat saat dikirimkan Tuhan untuk manusia. Tak jarang, sebagian berprasangka bahwa Tuhan terlalu suka bermain-main dengan mengirimkan kejujuran untuk disandingkan dengan jiwa, di persandingan rapuh.Lantas kejujuran itu dicincang dan diberikan kepada anjing. Sedangkan anjing lalu menjadi lebih jujur dibanding manusia. Dan yang kemudian terjadi adalah munculnya medan-medan yang lebih keruh dari debu Kurusetra. Perang antara anjing dengan manusia. Pertarungan kejujuran dengan pemuja dusta. Iya, sebuah jaman keanehan itu muncul mewujud sebagai realita. Saat manusia jujur lebih sering dituduh sebagai anjing, sedangkan anjing yang sedang mengenakan atribut manusia dipercaya sebagai sebenar manusia. Maka perang itu terjadi. Hanya saja memang yang paling sering terjadi, anak-anak panah, peluru-peluru diarahkan lawan dengan senyum termanis yang mereka bisa. Ketika ada beberapa prajurit yang terkesima dengan senyuman, selanjutnya beribu anak panah dan peluru telah menggantikan letak kulit tubuhnya.Sayangnya beberapa ekor anjing tidak tahu untuk apa anak-anak panah beterbangan, peluru-peluru berdesingan. Sampai, beberapa peluru dan anak panah itu juga dengan tepat sudah mengenai badannya. "Jika anjing menjadi manusia dan manusia sudah menjadi anjing, mana yang akan engkau jadikan pilihan?" Kelakar seorang sahabat saat mengisi malam bersama embun yang mulai jatuh, kepada sahabatnya. Entah disebabkan sudah tidak terlalu kuat untuk berpikir,yang ditanya hanya menjawab asal, "tetap memilih menjadi manusia dan melakukan semua tugasku sebagai manusia." "Itu saja yang kau ulangi dari sejak engkau belum turun ke medan perang ini." "Hm, tapi bukankah matahari yang terbit hari ini juga matahari yang sama yang muncul kemarin bukan?" "Ah, kau paling pintar untuk mencari-cari alasan." "Tetapi, baik, aku mencoba serius. Iya aku serius. Mereka yang menjadi pewaris durja, pewaris angkara, tidak lelah mengulang cerita durja dan angkara pada setiap pergulingan masa. Malah mereka dipuja karena konsisten dan teguh mengulangi cerita yang sama. Uhm, sedangkan kita, sebenarnya sudah terang melihat yang benar, tetapi begitu pagi merasa jenuh karena mengulang kebaikan yang pernah dilakukan yang kemarin. Konsistensi itu membosankan. Tetapi sejarah pahlawan yang kubaca, mereka tidak pernah dibunuh oleh jenuh." Lelaki yang ditanya menunjukkan ekspresi yang sulit terbaca, sehingga sahabatnya yang tadi bertanya tidak bisa mengambil kesimpulan apa. Tetapi ia hanya berharap---membaca dari keningnya---angin saja yang bisa menyimpulkan sudah cukup. Mungkin satu masa kelak, saat ia sedang dalam perjalanan panjangnya. Akan menyinggahkan kuping-kuping yang lebih bersih dengan kalimat yang telah disimpulkannya dengan sejuk. Insomnia Effect Aceh,16 Jan 10 (Photo taken from: Reading Islam)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline