Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Menyadarkan Polisi

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_181720" align="alignright" width="300" caption="Negeri ini bisa hidup lagi hanya dengan kejujuran (Gbr: Kaskus.us)"][/caption] Jangan marah pada 'polisi tidur' karena ia memang disengaja dibuat di gang-gang sempit untuk membuat mata pengendara motor terbuka. Nun sedikit bergeser soal polisi yang berwujud manusia, terlahir dari rahim manusia lalu kemudian dididik untuk menjadi manusia idealnya memang terus konsisten sebagai manusia. Terus, pikiran iseng saya teringat pada pendidikan yang diberikan kepada polisi, apakah di sana diajarkan manusia itu sebenarnya seperti apa? Saya tidak bisa menduga-duga. Lagi pula, kebetulan jika ada pun beberapa kawan saya yang polisi, polisi yang menjadi kawan saya itu bisa saya pastikan baik--taruhlah saya sedang sedikit menyombongkan diri sebagai orang baik dan memiliki kawan yang memang baik, sebagai keseiramaan dari kebaikan yang saya lakukan--yang membuat saya tidak sampai hati menanyakan perihal demikian padanya. Kenapa? Polisi baik itu, menurut yang saya kenal, perasaannya halus sekali. Walaupun beberapa teman lain saya piawai dalam bermetafora tetapi di depan seorang kawan yang merupakan polisi baik, tetap saja dipahaminya. Dan tentu kemampuannya menyelami metafora saya, saya khawatirkan, membuatnya tersinggung walaupun selanjutnya ia takkan menggebrak meja karena ketersinggungan itu. Pun, saya memang selalu menjaga perasaan kawan ini untuk tidak sampai 'tersentil' sedikitpun. Membersihkan sampah tidak cukup dengan satu lidi. Jika di tubuh kepolisian negeri ini banyak sampah, maka lidi yang satu itu bisa-bisa patah sendiri sebelum ada satu pun sampah yang bisa ia ambil lalu membakarnya. Sebab, ada perumpamaan yang saya lupa dulu saya dapat darimana, dikatakan bahwa sampah akan melindungi sampah. Lebih lanjut, seindah apapun sebuah keadaan bersih tanpa sampah, tetap juga hal itu tidak terlihat indah bagi sampah karena ia tahu untuk adanya keindahan itu, ia tidak bisa lagi berada di tempat yang sejuk dan teduh plus nyaman. Maka, sampah juga bisa saling mengikat diri. Apatah lagi jika ada manusia yang memiliki jiwa yang diambil dari sampah dan menyatu dengannya, hal yang mirip juga akan dilakukannya. Ia akan mencari yang mirip. Lalu, ya mereka akan saling menguatkan, misi lebih ke depan, bagaimana terus berupaya membuat orang-orang yang berada di sekeliling kemudian tidak lagi merasa terganggu dan asing dengan sampah. Dengan begitu, tidak ada lagi yang harus dipusingkan, karena dengan itu semua bisa terjaga. Tidak ada yang harus dipungut dan dimasukkan ke dalam bak sampah dan kemudian berakhir di tempat pembakaran sampah. Tentu terkait yang ini, tidak dikenal istilah daur ulang.

***

Ada beberapa pandangan orang tua di kampung-kampung saya dulu yang pernah berujar,"Neuek, keurija neupue jeuet. Tapi nyeung bek dua sagai, jeut keu hakim atau polisi.(Nak, kau boleh bekerja apa saja, tapi jangan dua hal, polisi dan hakim." [caption id="attachment_181723" align="alignleft" width="300" caption="Polisi hanya bisa memiliki harga diri bersama kejujuran (Gbr: imageshack.us)"][/caption] Dulu saya tidak paham, kenapa dua profesi yang tergolong bergengsi itu jauh-jauh hari sudah diwanti-wanti untuk dijauhi. Pelan-pelan, mata saya terbuka melebihi dari seharusnya saat mendapati serentetan fakta tak terbantah seperti apa permainan polisi, juga seperti apa permainan hakim. Lalu, terdengar bantahan,"Tidak semua hakim dan polisi demikian toh?" Nah, terkait pernyataan demikian, saya tertarik untuk katakan, orang tua di kampung saya juga tidak mengatakan semua polisi dan hakim bakal demikian. Cuma, terbayang kalau misal kemudian harus menjadi bagian di luar dari yang "tidak semua" itu. Entahlah.

***

Teringat lagi dalam pertemanan saya dengan beberapa rekan yang bekerja di kepolisian. Semua hal yang ia hadapi dan ia temui, ia ceritakan. Walau mungkin itu sifatnya rahasia, tapi memang sesuatu yang 'panas' takkan bisa ia tahan menyimpan terlalu lama. "Kok terus saja di Aiptu? Tidak tertarik untuk jadi Iptu?" "Wah, andai bisa begitu mudahnya, saya juga tidak betah terus menerus 'matee plat' sebagai Aiptu." Ini fenomena dan ini realita. Boleh saja pihak kepolisian di berbagai media sesumbar bahwa semua yang berada di institusi tersebut sudah pernah ditraining oleh malaikat, semua sudah berjiwa malaikat, tidak lagi satu pun tersisa sebagai penjilat. Its okey, tetapi sesumbar tidak pernah sama terdengar dengan kejujuran.

***

Sebagai rakyat, saya pribadi tidak tertarik untuk bermimpi kepolisian negeri ini bisa menjadi malaikat yang bersabar saja di depan sekian banyak bangsat. Lalu membiarkan saja semua perbuatan laknat. Karena jelas hal itu tidak enak untuk dilihat. Namun, ada banyak hal yang harus di ingat walau ini bukan nasihat, bahwa kepolisian negeri ini memiliki mandat. Pastikan institusi kepolisian tidak ada lagi yang melanggar amanat, karena hal itu hanya membuat Nusantara kian sekarat. -------- Matee plat, istilah Aceh untuk menyebut kematian karir, berhentinya perjalanan seperti mobil yang nopol-nya mati, tidak bisa dipakai jalan jauh lagi karena tentu tidak sah. -------- Catatan menyambut Hari Bhayangkara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline