Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Tawa di Depan Keranda

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_156398" align="alignleft" width="300" caption="Di mana tempatkan tawa? Masalah sederhana yang layak direnungkan untuk tetap disebut manusia"][/caption] Saya hanya ingin merekam ulang sebuah potret yang pernah saya tangkap langsung dengan mata saat sedang membantu menggosok papan keranda dengan jeruk purut dengan beberapa teman, di kampung sekitar 10 tahun lalu. Menggosok papan keranda karena memang saya sedang berada di sebuah rumah kenalan yang baru saja mengalami kematian anaknya. Sedang di depan, beberapa lelaki yang secara usia jauh lebih dewasa terlihat sedang membahas masalah-masalah pekerjaan bahkan rumah tangganya dibarengi dengan tawa yang berderai. Sambil mengusap jeruk purut di papan keranda, kening saya mengernyit. Yang terasakan adalah keanehan yang cukup kontras. Saya mengenali nyaris semua yang ta'ziah ke rumah tersebut. Beberapa dari mereka adalah pemuka gampoeng, guru, pejabat pemerintah yang bisa menjadi sebuah petunjuk bahwa mereka bukan orang yang tidak tahu apa-apa. Orang yang saya yakini lebih dari sekedar tahu terkait dengan masalah etika. Tetapi, dalam upacara kematian seperti itu, masih juga ada yang tertawa. Saya tercenung. Tidak percaya bahwa mereka tidak tahu kalau rumah yang sedang dikunjungi sedang mengalami musibah kematian salah satu anggotanya. Tidak yakin bahwa mereka yang hadir adalah orang-orang yang tidak punya hati. Tetapi yang terlihat oleh saya cukup jelas, tawa mereka begitu berderai. Memang, soal tawa bisa dikatakan sebagai sebuah pertanda hati yang tidak terbeban. Namun, tertawa di [caption id="attachment_156403" align="alignright" width="300" caption="Tak ada nasehat yang lebih baik selain mengingat kematian"][/caption] acara kematian? Terserah, saya tidak bisa menduga apa yang anda rasakan melihat potret demikian. Saya sendiri merasakannya sebagai sebuah bentuk ketidakwarasan. Kematian nurani. Kedangkalan pikiran. Kebebalan yang paling sejati. Anggap saja, sorotan negatif dari saya untuk orang-orang demikian merupakan kelemahan saya. Tapi saya mengira, bahwa tertawa sekalipun merupakan sesuatu yang menyenangkan, namun sangat tidak tepat untuk dipuji jika itu dilakukan di sebuah upacara kematian. Kemudian, ketika saya maju lagi beberapa langkah ke depan di jalanan hidup. Potret-potret mirip demikian juga kian sering saya saksikan. Sebelah rumah sedang berduka, masih ada orang yang berdangdut ria. Tetangga kelaparan, masih ada orang yang bahkan membuang makanan. Apatah lagi soal selebriti yang hambur-hamburkan yang sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk kemanusiaan daripada sekadar memenuhi ambisi dangkal karena ingin dipuji. Entahlah. Nanti juga mereka tetap berujar,"Ini semua hakku, uang, makanan semua kucari sendiri. Kenapa pula harus anda yang mengaturnya?" Ternyata hanya kematian saja yang bisa membuat kebebalan sejati tidak terus menjadi duri penghalang kesadaran diri. Sumber Gambar: 1, 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline