Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Gadis Desa Tanpa Sehelai Benang

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bagi orang biasa, niat akan menjadi permasalahan yang biasa saja. Ia mengira hal itu tidak akan berpengaruh apa-apa. [caption id="attachment_139140" align="alignright" width="225" caption="Perjalanan gadis desa [model: meytari)"][/caption]Hasan terus larut dalam kebingungannya. Ia tidak tahu kenapa dulu ia dinikahkan dan bagaimana perempuan yang sekarang sudah menjadi istrinya tiba-tiba sudah ditegaskan Cek Dolah sebagai pendamping hidupnya. Sebagai seorang pemuda dari sejak belum baligh sudah bersama pamannya itu, tidak ada cara bagi Hasan untuk menolak. Selain karena persoalan pantangan, juga dipandang tidak tahu balas budi ketika seorang yang pernah berjasa besar lantas dibantah. Maka diterima saja anjuran Cek Dolah untuk nikahi Laila. Hasan masih belum tahu, alasan Cek Dolah untuk nikahkannya tidak selalu lurus. Walaupun memang lelaki paruh baya yang menjadi pamannya ini selama ini memang baik. Tetapi beban apapun tetap memiliki titik jenuh. Demikian pula yang dirasakan oleh Cek Dolah. Pertimbangannya tidak lain, dengan mengawinkan Hasan sesegera mungkin hal itu bisa memberi 2 pengaruh baik untuk Cek Dolah, bisa karena bebannya terkurangi. Juga untuk membuat Hasan bisa cepat hidup mandiri, alasan terakhir mungkin sedikit lebih manusiawi. Sepuluh tahun lebih Hasan bersamanya, memang ada manfaatnya. Dalam arti keberadaan Hasan sangat membantu ketika tidak ada yang rabee keubeue, istilah untuk menjemput kerbau yang dilepas ketika musim tanam sampai musim panen. Biasanya kerbau itu dilepas begitu saja, untuk ia mencari rumput sendiri. Nanti ketika dibutuhkan baru akan dicari lagi. Satu sisi mungkin bisa disebut sebagai kebiasaan yang tidak baik disebabkan setelah tenaga binatang tersebut diperas sedemikian rupa, giliran sedang tidak dibutuhkan, justru ia dilepas begitu saja. Keberadaan Hasan bersamanya pula, kambing-kambing yang jumlahnya ratusan, ada yang mengurus. Untuk kambing biasanya hanya dilepas dan dikandangi setiap hari. Kebiasaan ureueng Aceh, kambing itu biasa dilepas saat siang hari dan harus dimasukkan lagi ke dalam kandang saat lewat ashar. Dan ini juga dilakoni oleh Hasan setiap hari. Sadar tinggal tidak dengan orangtua sendiri, maka apa saja yang diperintah sama sekali tidak ada celah untuknya memba`ntah. Jika tidak semua anggota masyarakat akan merutuknya, bisa berakibat tidak baik sampai ke anak cucu. Bisa saja keturunannya kelak disebut sebagai keturunan dari orang yang tidak tahu membalas budi. Atas pertimbangan itu juga maka Hasan mengangguk saja ketika ia dinyatakan harus menikah dengan Laila. Padahal dari sejak kecil Hasan tidak pernah kenal Laila. Jelas, karena masa kecil Hasan lebih banyak dihabiskan di Gampong Latong, desa yang berada dekat Kota Jeuram. Sedang Laila berada di Kuala. Meskipun Latong dengan Kuala hanya berkisar 20 Kilometer, tetap tidak mudah untuk Hasan bisa bepergian. Karena untuk transportasi pertengahan 70an, tidaklah selancar sekarang. Paling bisa pergi kalau ada undangan acara kawin. Biasanya jika diundang maka kerabat yang diundang akan mengajak kerabat lainnya untuk datang beramai-ramai dengan menyewa truk pengangkut pasir. Saat-saat demikian saja Hasan berkesempatan untuk keluar dari kampungnya, selebihnya harus ia habiskan di desanya sendiri, rabee kameng ngoen rabee keubeue (gembala kambing dan kerbau). Tentu kesempatan untuk keluar desa yang hanya sesekali itu sama sekali tidak memberi kesempatan untuknya mengenali gadis manapun. Apalagi dasar Hasan pemalu, dengan teman SD satu kelasnya saja ia tidak berani bicara. Dalam pikirannya dari kecil cuma, “aku bukan anak orang berada.” Dia selalu melihat dirinya sebagai anak yang bahkan tidak dipedulikan oleh orangtuanya sendiri. Walaupun lama Hasan bersama dengan Cek Dolah tetap saja untuk urusan maskawin harus tanggung sendiri. Apalagi karena alasan, di Aceh untuk anak muda yang ingin menikah akan dipandang tidak baik atawa seumaloe jika ia menikah bukan dengan hasil keringat sendiri. Maka untuk itu Hasan harus menikah dengan berhutang. Sebuah pilihan yang dirasakan sendiri olehnya sebagai pilihan yang sangat memalukan. Tetapi apa boleh buat. Ia tidak punya kesempatan untuk berdalih, meski karena tidak mau atau karena alasan sedang tidak memiliki apa-apa untuk menikah. Terjadilah pernikahan itu.Tanpa ada dari pihak keluarga Hasan yang tahu alasan pihak Laila menikahkan anak mereka dengan Hasan. Selidik punya selidik, ketika salah satu kerabat mereka mendengar dari Cek Dolah yang ingin menikahkan keponakannya. Segera kerabat tersebut menunjuk Laila sebagai gadis yang tepat. Alasan yang dikemukakan Mak Tek Apeulah (nama asli Aflah, cuma karena lidah Aceh maka jadi Apeulah), Laila seorang gadis penurut, tidak pernah dekat dengan lelaki lain, ia rajin, punya kemampuan memasak, dan tidak pernah terdengar macam-macam. Segala yang disampaikan Mak Tek Apeulah saat itu hampir semuanya adalah hal yang baik-baik saja. Tidak ada sedikitpun cacat cela pada diri gadis itu, kesan itu yang ditangkap oleh Cek Dolah. Sedang Cek Dolah yang terkadang memiliki kekurangan egois dan sedikit sok tahu, mendengar semua yang dituturkan oleh Mak Tek Apeulah, langsung saja ia percaya. Sama sekali tidak ditiliknya seperti apa rekam jejak keluarga itu, dan dengan siapa selama ini Laila tinggal. Dalam bayangan Cek Dolah, Laila persis seorang peri apalagi Mak Tek sering katakan selama ini dalam kemiskinan juga Laila tidak pernah mengeluh. Jadinya Cek Dolah berkesimpulan gadis seperti itu memang teramat sangat layak mendampingi Hasan sebagai istri. Sama sekali tidak diketahui Cek Dolah juga bahwa Laila juga kerap juga ditinggal sendiri di rumahnya dan pernah akrab dengan Lem Gani, duda muda yang pernah berniat untuk nikahi Laila juga dan gadis ini sendiri pernah merasakan kalau hatinya memiliki perasaan yang sama. Perasaan yang tidak bisa dikemukakan pada siapa-siapa sebelum Lem Gani sendiri yang utarakan pada keluarganya. Sebab, salah-salah bisa saja malah Laila nanti dikatakan sebagai "tima mita moen," atawa timba mencari sumur, istilah untuk menyebut perempuan yang mencari lelaki. Stempel yang bisa disematkan padanya, termasuk jika dia meminta sendiri pada Lem Gani untuk melamarnya.Terlambat satu langkah, Lem Gani didului keluarga Hasan yang meminang terlebih dulu. Laila sendiri menerima pinangan itu karena dari bujukan keluarganya sering dikatakan kalau Hasan adalah lelaki yang berasal dari keluarga berada. "Lihat saja, pamannya Hasan, Cek Dolah itu seorang toke yang punya kilang padi, sawahnya luas, punya kebun sawit juga banyak usaha lain. Kelak semua itu pasti sebagiannya akan diwariskan pula ke Hasan." Bujuk Mak Tek dan saudara-saudara Laila lainnya untuk lebih meyakinkan. Tidak mereka ketahui kalau Cek Hasan itu adalah karoeng atawa bukan wali dari Hasan karena lelaki yang menjadi suaminya itu adalah anak dari kakak perempuan Cek Dolah. Untuk anak dari saudara perempuan, di Aceh disebut karoeng yang dalam banyak hal menempati tempat nomor dua, juga jika berhubungan dengan soal waris mewaris. Sebagai seorang gadis yang belum genap 15 tahun saat itu, Laila terbuai dengan semua bujukan keluarganya. Dalam bayangannya, menemukan suami yang demikian tentu sebuah keberuntungan apalagi selama ini ia merasakan begitu lelah hidup dalam kemiskinan. Lagi juga dari sejak usia 12 tahun dengan terpaksa menjadi buruh cuci pakaian tetangganya dan menjadi buruh di perkebunan sawit di Seumayam sejak mereka pindah dari Kuala ke kawasan perkebunan itu. Tak dinyana, potret nyata yang kemudian dia dapati ternyata berbeda dari yang diterangkan selama ini padanya berbuah tidak baik pada berbagai sikapnya. Akibat lain dari saling tidak kenal antara 2 mempelai itu, bahkan untuk malam pertama saja Hasan masih canggung berada dekat dengan istrinya, sampai sempat ia meminta istrinya untuk tidur berjauhan dengannya. Sebuah kekonyolan dilakukan olehnya sebelum ia diberikan pandangan oleh seulangke (sebutan untuk orang yang membantu proses mempertemukan calon pengantin pria yang disebut lintoe, dengan calon perempuan yang disebut darabaroe). Yap, Mas Kawin itu baru terlunasi setelah pernikahan itu berjalan lebih dari 10 tahun, dan mereka sudah memiliki 2 anak. Itupun dikarenakan Hasan sudah sangat sering dipermalukan Laila di depan tetangga kalau dia hanya lelaki yang tidak ada apa-apanya. Lelaki yang untuk menikah saja harus berhutang. Malu akan hal itu, Cut Amat memberikan kalung emas istrinya yang kemudian dibayar secara mencicil. Itu dilakukan tanpa sepengetahuan Laila. Lagi juga Cut Amat dan Hasan sudah saling sepakat untuk merahasiakan perihal itu. Apakah kemudian setelah perihal maskawin itu terbayar lalu permasalahan Hasan juga selesai. Tidak. Bahkan sekarang Laila sedang mengalami sesuatu di dalam hatinya. Ia merasakan di taman hatinya sedang dipenuhi bunga. Bukan bunga yang akan diberikan untuk Hasan. Namun bunga itu untuk Amri. Lelaki yang dikenalnya di labi-labi (sebutan di Aceh untuk angkot). Entah kapan scenario mereka mainkan. Yang jelas Amri leluasa untuk datang ke rumah Laila. Tidak ada penduduk yang tahu karena mereka memainkan scenario bahwa Amri adalah keponakan dari Laila. Disebut ke semua orang bahwa ibunya Amri adalah keponakan ibunya Laila jadinya Amri menjadi keponakannya juga. Semua itu disusun dengan begitu rapi sampai tidak ada yang mencurigainya. Bahkan Hasan sendiri tidak mengetahui perihal itu. Hasan hanya tahu sejak kedatangan Amri dan sering berkunjung ke rumah, ia merasakan Laila semakin hangat padanya, semakin lembut dan semakin perhatian. Nasi selalu terhidang setiap ia pulang kerja, semua dipersiapkan. Tentu, Hasan merasakan girang luar biasa. Betapa tidak sepuluh tahun sudah pernikahannya, untuk sekedar bisa melihat istrinya ini tersenyum saja susah tidak kepalang. Wajar jika kemudian melihat pemandangan yang beda demikian ia merasakan begitu banyak bunga dalam ruang-ruang imajinasinya. Tidak ia ketahui samasekali jika istrinya juga sedang menikmati bunga seribu warna, tetapi bukan untuknya justru itu untuk lelaki yang disebut-sebut sebagai keponakannya itu. Hubungan Laila dengan Amri berjalan sampai beberapa tahun. Ramat juga merasakan sekali ‘berkah’ dari kedatangan Amri. Setiap Amri berkunjung ibunya pasti akan menyuruhnya beli bermacam-macam keperluan rumah, sampai garam yang harusnya masih ada di dapur juga disuruh beli lagi. Dan Amri juga sering berikan uang jajan untuk bocah yang tidak mengerti apa-apa ini. Dengan seringnya Amri ke rumah, Ramat dan Jannah juga jarang dipukuli. Kecuali kalau misal Amri sedang ada di rumah dan mereka menolak untuk beli keperluan yang disuruh Laila. Kalau sudah begini, pasti bocah-bocah ini akan merasakan hukuman dikurung di kamarnya yang memang sangat gelap. Sekarang Ramat sudah kelas 5 dan Jannah sudah kelas 2 SD. Saat anak-anak ini berangkat ke sekolah pula sepasang anak manusia yang tidak diikat dengan pernikahan itu melabuhkan kerinduan. Tidak ada pikiran mereka soal dosa dan hukuman Tuhan. Yang dirasakan hanya keindahan yang tak kepalang. Begitu leluasa untuk mereka nikmati, apalagi karena tidak ada seorang pun yang menaruh curiga atas hubungan mereka. Tak ada yang tahu bahwa hubungan persaudaraan yang selama ini digembar-gemborkan ke luar itu tak lebih dari drama yang dimainkan oleh mereka. Untuk menyiasati hubungan itu juga, mereka bisa mencium gelagat tidak baik jika pertemuan mereka berdua begitu sering. Maka kemudian diatur agar Amri hanya datang sesekali saja. 2 minggu sekali. Itu juga harus ada alas an lain, sehingga kalau misal nanti juga ditanyakan oleh orang-orang, ada alas an yang bisa dilemparkan. Amri bukan satu-satunya wayang yang dimainkan oleh perempuan berjiwa dalang. Masih ada Rusli dan Madi yang juga berjuang keras untuk bisa mendapat kesempatan meniru peran yang kerap mereka lihat dari kambing-kambing yang bermain di halaman-halaman rumahnya. Sebagai lelaki, walaupun 2 pemuda pengangguran ini tidak bisa membaca tetapi memiliki cukup kecakapan untuk membaca karakter perempuan seperti Laila. Tak heran, terkadang mereka bertiga ada di rumah itu dan sama-sama bisa mengelabui Hasan. Kerapian menyembunyikan rahasia itu, masing-masing dari mereka sendiri samasekali tidak tahu peran apa yang sedang dimainkannya. Kecuali hanya menduga-duga saja. Kalau sudah bertemu mereka bertiga paling hanya bercanda saja, sedang Laila berpura-pura sibuk dengan cuciannya. Kalau sudah dalam keadaan terdesak seperti itu saja Laila baru berubah rajin bisa menghabiskan mencuci pakaian anak dan suaminya yang terkadang berminggu-minggu tidak pernah dicucinya. Berpikir lurus tidak selalu berbuah lurus. Hukum hidup yang aneh yang sulit ditebak dan diduga-duga siapa yang telah menulis hokum hidup yang demikian. Hasan begitu lurus melihat semua yang ada. Ketika dilihatnya banyak dari sikap Laila yang sepertinya pelan mulai berubah, ia berpikir bahwa itu merupakan sisi baik dari Laila. Tidak pernah tertarik untuk ia menelusuri lebih jauh, bahkan sekedar untuk menanyakan lewat canda karena Laila pasti akan kembali berubah beringas kalau saja ada pertanyaan yang dirasakannya berbentuk ujud ketidakpercayaan didengarnya. Note: Tanpa sehelai benang diterjemahkan sebagai tidak memiliki apa-apa atawa miskin ———— To be continued [Sebuah cerita yang diangkat dari kisah nyata yang pernah terjadi di negeri syariat: Aceh]. Dedicated to: Perempuan miskin di negeriku Sumber Gambar: di sini dan di sini ————– Tulisan terkait: 1. Kenapa Telanjangi Laila 2. Keringat Laila. 3. Dada Laila 4. Meniduri Laila 5. Malam Pertama Laila 6. Perselingkuhan Perempuan Desa 7. Lelaki lain di Kamar Laila 8. Berita dari Kamar Laila 9. Hanya Selingkuh Biasa, Laila 10. Menyembunyikan Perselingkuhan. 11. Perempuan itu Menjual Diri 12. Jalan Meneruskan Perselingkuhan 13. Peselingkuh Kena Batu. 14. Saat Ibu Menyiksa Anaknya 15. Aku Malang, Istriku Jalang 16. Istriku Jalang Mengejar Lajang 17. Demi Selingkuhan 18. Istriku Jalang dan Lelaki Malaikat 19. Ibu Anakku: Perempuan Bergilir 20. Lepas Setubuh Subuh 21. Darah Pelanggan Raja Singa 22. Perempuan Itu tak Berbaju. 23. Anak Lapar dan Perempuan Sangar. 24. Menelusuri Dada Laila 25. Perempuan Hitam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline