Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Teologi Penderitaan

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_35581" align="alignleft" width="300" caption="Cahaya pasti datang, ketika ia sudah muak dengan keangkuhan kegelapan (fickar09)"][/caption] Saat kau ingin menanam bunga di awan, mungkin bumi akan menjatuhkanmu. Itu bukan kegagalan, tetapi penegasan bahwa engkau hanya bisa menanam bunga itu di tubuh bumi. Sebuah keberuntungan bagiku karena pernah beberapa kali terjatuh. Terjerembab, hampir patah dan bahkan hampir mati sampai merasa benar-benar mati. Kekecewaan, luka, perih, pedih, sedih menghinggapi seperti kulit tubuh yang menyelimuti daging. Aku merasakan itu sebagai bentuk keberuntungan. Setelah membuka-buka buku sejarah, bahwa untuk terbentuknya keunggulan, terminal sebagai pecundang mesti sedia dilewati. Pengalaman sebagai pecundang selanjutnya menjadi kacamata yang memperjelas penglihatan, bahwa kemenangan merupakan sesuatu yang mahal, kemenangan itu berharga. Beberapa sahabat yang telah tiba di terminal kemenangan sering bercerita kepadaku. Tentang airmatanya, tentang lukanya dan tentang derita yang pernah menderanya. Mereka dengan rendah hati menyebut, Tuhan selalu tahu membayar sesuatu dengan harga terpantas. Semua pengalaman buruk itu adalah penyeimbang sehingga bumi bisa bernapas  lebih panjang. Jika dengan semua kenikmatan saja hanya membuat kematian yang sesungguhnya, penderitaan justru menjadi penghidup. Penderitaan telah dibuktikan sejarah telah melahirkan begitu banyak tokoh-tokoh besar. Mereka, manusia yang berhasil mengolah deritanya untuk dirinya saja dan selalu mengarahkan pikiran dan hatinya mengubah itu semua untuk melahirkan kebahagiaan, untuk yang lain. Mereka adalah kalangan Pandawa yang memilih neraka dan membiarkan Kurawa menempati nirwana. Apakah itu ketololan Pandawa? Tuhan dalam semua kerjanya memberi bukti, itulah kecerdasan yang keluar dari hati. Itulah yang sebenarnya kecerdasan.

***

"Jika kau menderita, bagaimana engkau berikan kebahagiaan untuk orang-orang yang engkau cinta?" Begitu seorang lelaki paruh baya menanyakan pada seorang anak muda. Pemuda itu hanya menengadah dengan semua kebanggaannya. "Aku mengarahkan pikiranku untuk membahagiakan orang-orang yang aku cinta. Tentang kebahagiaanku, cukup Tuhan saja yang memberi yang terbaik menurut-Nya. Mungkin airmataku terlihat penderitaan dalam pikiran mereka. Tetapi, aku menikmati kebahagian yang bisa kuberikan. Bagiku apa yang telah kuberikan pada mereka itu hanya secuil. Aku merasakan sekali, kebahagiaan yang diberikan Tuhan padaku jauh lebih besar dari itu. Kukira, semua yang telah kulakukan adalah mengarahkan senter ke satu bidang cermin. Cahaya yang terpantul untukku tetap saja lebih besar." "Bukankah itu juga sebuah bentuk egoisme. Menjadikan mereka hanya sebagai alat untuk pemuasanmu sendiri." Balik lelaki Tua. "Mungkin iya seperti anda sebutkan. Tetapi, seperti ini, seorang  yang bercita-cita untuk bisa banyak memberi tidak pernah khawatir persoalan balasan. Persoalan cahaya tadi itu bukan harapannya untuk bisa mendapat balasan lebih besar. Justru, itu perspektif diluar kemauan yang diinginkan. Tentang balasan, itu bukan sesuatu yang harus dipikirkan. Balasan itu tidak butuh pemikiran. Justru memberi yang membutuhkan pemikiran mendalam, penjiwaan, penghayatan. Biar saja balasan itu datang dengan caranya sendiri. Yang penting untuk ditanam dalam pikiran hanya bagaimana memberi? Aku hanya orang biasa, dan yang bisa kurenungkan dan kujadikan prinsip itu, iya seperti itu." Kedua anak manusia ini terdiam dan larut dalam pikiran masing-masing. "Dalam kemiskinan yang menderamu, kau masih bisa berpikir? Bukankah dengan bergelimangan harta justru akan membuatmu lebih laluasa berpikir, dan bisa memberi lebih banyak?" Gugat lelaki paruh baya itu, entah untuk mencoba bagaimana si pemuda itu berpikir. "Begini, persoalan kemewahan dalam hidup memang sangat jarang terpikirkan oleh. Meski sekedar untuk mengetahui caranya saja, tidak menarik minatku. Aku tidak pernah berusaha untuk bisa hidup bergelimangan harta. Yang kupikirkan hanya apa saja yang bisa kulakukan. Persoalan apa yang kudapat, kukembalikan saja pada kebijaksanaan Tuhan." Tak ada lagi suara, hanya perputaran bumi yang bergulat ditengah galaksi di ujung mata Tuhan. Pengabdian menulis sejarahnya sendiri dengan tinta cinta, entah siapa saja yang telah membacanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline