Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Buang Angin

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_99992" align="alignleft" width="238" caption="Silahkan buang angin  dengan santun dan berwibawa, jangan merusak lingkungan dengan Co2 (Gbr: Google)"][/caption] Jadi teringat pengalaman dengan motor butut yang pernah dipinjamkan kantor saat masih bergiat di beberapa lembaga swasta di Aceh. Saat harus turun ke lapangan, baik untuk riset, assesment atau apapun namanya. Seringkali saya harus sendiri saja menelusuri jalan dari kota kabupaten sampai pelosok desa. Tentu desa yang di maksud tidak seperti di desa seputaran Jakarta, sampai lorong-lorong kecil juga teraspal baik. Yang ini jelas desa yang sebenar-benar desa. jalanan saja lebih banyak berbahan alami begitu saja, maksud saya kerikil minus aspal. Untuk bisa sampai di desa-desa itu, berbagai resiko jelas ada. Bisa berupa binatang buas berupa macan dan gajah plus babi hutan (menyebut ini karena memang 3 jenis binatang ini yang paling rawan di pedesaan Aceh). Macan memang jarang mengganggu jika pengendara motor lewat, tapi melihat mereka [caption id="attachment_99999" align="alignright" width="181" caption="Kesempatan untuk narsis selalu terbuka lebar sekalipun sedang berada di sisi sungai yang berisi buaya yang baru menelan seorang anak penduduk. Lokasi Kruang Woyla, Aceh Barat-2007 (Gbr: Zulfikar Akbar)"][/caption] melenggang santai di pinggir jalan lumayan membuat bulu kuduk meremang persis melihat kuntilanak. Sedangkan gajah, banyak kasus binatang ini dengan sukses bisa menghentikan pengendara motor. Entah maksudnya untuk bermain-main, terkadang motor juga jadi sasaran injakan dia. Barangkali ia ingin unjuk kekuatan seperti Limbad yang mentalist sering muncul di TV itu. Apakah gajah di sana hanya mengusili motor saja? [caption id="attachment_99996" align="alignleft" width="141" caption="Resiko yang sangat mungkin, dengan mudah akan ditemui di jalan-jalan desa di Aceh (Gbr: Google)"][/caption] Oow, tunggu dulu. Tidak sedikit kasus tercatat dan diekspose di media massa di Aceh semisal Serambi Indonesia dan Harian Aceh. Kasus itu adalah tentang orang-orang yang kebetulan nahas, sehingga badan dan tempurung kepala mereka remuk, otak muncrat diinjak hewan yang di Aceh akrab disebut penduduk dengan gelar Teungku Rayeuek itu--gelar Teungku lazimnya untuk orang-orang terhormat dan berpendidikan agama mumpuni, tetapi karena masyarakat di sana cenderung 'menghormati' hewan ini. Maka gelar itu juga diberikan padanya--.

***

Nah, saat merambah jalanan pedesaan, saya tidak merasa sebagai pemberani, justru ada ketakutan dan [caption id="attachment_99993" align="alignright" width="200" caption="Kalau ke hutan, jangan takut karena aku lucu kok (Gbr: Google)"][/caption] kekhawatiran cukup kuat juga terasakan. Apalagi, saya memang sering mengalami ban motor bocor tengah jalan. Kalau sudah mengalami musibah ini, terpaksa pakaian ketakutan dibuka untuk beberapa saat. Mendorong motor sampai berkilo-kilo meter. Di pikiran tetap istiqamah berjalan gambar seperti film, macan yang menerkam tiba-tiba dari belakang. Gajah yang bisa muncul tanpa tersadari--konon gajah bisa berjalan tanpa menimbulkan suara berisik--, plus babi hutan yang mungkin kalap. Syukur sekali, walaupun ban motor sedang "buang angin", tetapi sependek saya berjalan di jalanan berhutan itu--sependek mengutip istilah rekan Firman Seponada--, tidak pernah ada gangguan dari makhluk yang saya sebutkan di atas. Justru yang mengganggu ternyata hanya ketakutan saya sendiri. dari ini jadi teringat selalu kalimat Mark Twain: Seringkali sesuatu yang ditakutkan tidak pernah terjadi. Dan memang pengalaman saya menelusuri jalan-jalan kampung di Aceh (khususnya di daerah pantai barat ke pedalaman), menjadi stimulan untuk saya berani menegaskan beberapa hal. 1. Ketakutan itu memang tidak nyaman (jelas, namanya juga takut). Namun bermain dengan ketakutan justru menjadi sebuah kebanggaan tersendiri, sekaligus ada efek 'magic' berupa rasa yang sulit dilukiskan saat tiba di rumah kembali mendapati diri ternyata masih bisa bernapas, sekaligus masih bisa melirik anak tetangga (don't try at home). [caption id="attachment_99995" align="alignleft" width="300" caption="Jalan desa yang pernah saya lalui. Lokasi Desa Canggai, Pante Ceureumen (Gbr: Zulfikar Akbar)"][/caption] 2. Buang angin. Persoalan ini menjadi permasalahan yang sangat serius. Tidak hanya ketika kita sedang berada di tengah kerumunan banyak orang yang membuat mereka berang dan mendadak menderita asma. Namun juga ketika motor pun ikut menyindir kita manusia atas bagaimana menyulitkan ketika angin dibuang sembarangan. Buktinya, motor yang saya kendarai tidak peduli jauh dari bengkel, tetap saja bisa berulah dengan buang angin yang membuat saya jengkel, ngedumel plus merutuk sendiri sambil berpura-pura sabar mendorongnya berkilo-kilo meter. Mana kemudian saat berjumpa bengkel sudah masuk waktu malam, jangan heran dan tak usah disedihkan saat menyaksikan sorot mata pemilik bengkel seolah melotot karena murka: "anda bikin saya gak bisa istirahat saja." Tetapi mulutnya tidak akan terbuka sebab ia pasti tahu akan ada beberapa lembar uang seribuan yang akan mengisi kantongnya. Untuk itu, mari berjaga-jaga dari diri sendiri untuk tidak buang angin sembarangan Duh, maaf jika racauan saya kurang nyaman dibaca. Maklum lagi belajar menulis dengan bahasa ringan (sebab banyak komplain yang nyebut tulisan saya yang kemarin-kemarin terlalu berat, padahal sudah saya print out dan letakkan di neraca tidak sampai 1 ons).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline