[caption id="attachment_107437" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi-Mimpi itu adalah bunga yang memberi harum yang takkan hilang"][/caption] Kukira belum terlarang menulis mimpi. Dan tidak akan pernah dilarang untuk bermimpi. Sebab, aku tahu pasti bahwa mereka juga mengiyakan, kata-kata akan menjadi cabang sekaligus reranting tempat tumbuhnya sekian banyak bunga. Yang kelak akan bertengger sekian ribu butir buah-buah kecil yang terlihat kecil di mata orang-orang yang sudah lupa cara berhitung. Maka kutuliskan saja mimpi itu. Iya mimpi seorang lelaki yang membakar gubuk yang ditempati orangtuanya, untuk kemudian bisa mendirikan puri kecil disepetak tanah yang dipagari bunga. Dalam waktu lama lelaki itu tidak bicara, sebab kata-kata yang keluar dari lobang yang bertempat di bawah hidung diyakininya tidak terlalu memiliki kekuatan. Maka ia kumpulkan semua batu gunung, sebagai pertanda tinggi menjulangnya semua cita-cita itu. Dituliskan pada seribu kerikil, dilempar ke setiap pulau negerinya, dengan harap kemana saja langkahnya terayun, mimpinya akan selalu terbaca. Sehingga walaupun ia tertawa, maka tawa itu tidak akan membuat ia terlupa pada mimpi yang harus dikejar. Jikapun ia menangis, airmata itu tidak akan menjadi samudera dalam yang akan menghanyutkannya. Ekspresi syukur atas pertama sekali tulisan saya: Filosofi Ureung Aceh di Kompasiana dimuat di Harian Kompas. Thanks to: Kang Pepih Nugraha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H