Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Senggama

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

[caption id="attachment_75317" align="alignleft" width="300" caption="entah kenapa, waktu itu terus saja berjalan (Gbr: Google)"][/caption] Matahari Jakarta sedikit lebih ramah, menjelang siang ini. Kemarin sepertinya sedikit lebih angkuh menampar wajah sopir-sopir taksi di Jatinegara mengejar calon penumpang. Terjalin sebuah cerita hari ini dan cerita kemarin, cerita kemarin dan cerita hari ini. Pergulatan terbentuk, hari ini ataukah kemarin yang harus dilihat lebih terang. Kemarin, aku berada di Bandung. Menatap lekat wajah kekasihku. Saat aku sedang berkutat dengan pikiran yang memaksaku untuk lebih serius melihat perjalanan waktu. Dengan keindahan senyumnya, beban hidup yang masih belum begitu terang menyorot langkah yang musti kuayunkan, tidak terlalu terasakan. Karena beban itu terkalahkan oleh keindahan senyumnya. Sedangkan hari ini, kebetulan sekali senyum itu sedang tidak berada di ujung mataku. Karena kaki ringkih sedang menapaki jalanan Jakarta, tapak kaki yang menjadi ujung pena yang muntahkan tinta serupa diare lelaki renta. Dalam kezaliman karbondioksida yang melecut punggung bumi yang pernah dikenal sebagai Batavia.

***

Matahari adalah catatan kesendirian. Catatan tentang ketidaktertarikan pada bulan yang cenderung dipandang indah, sedangkan cahayanya adalah pencurian mantel-mantel cahaya dari rumah matahari. Tidak sedikit lelaki yang dalam diamnya bergulat untuk menjadi bulan manja ataukah memilih untuk menjadi matahari sangar. Menjadi matahari terkadang cenderung terjauhi oleh mereka yang mungkin merasa terganggu dengan panasnya. Tetapi matahari tetap saja harus menjalankan perannya untuk terus bisa menebar panasnya pada terbentuknya keberlangsungan hidup, dalam partikel-partikel energi. Kendati energi itu tidak pernah berubah menjadi aksara yang bisa dipergunakan manusia untuk sekedar bisa menulis dua kata: terima dan kasih yang kemudian didudukkan pada persandingan etika dan moral. Sepertinya, menjadi lelaki adalah keharusan untuk menerima diri dan terus memaksa diri untuk tetap menjadi matahari, kendati harus bercokol sendiri di ruang langit.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline