[caption id="attachment_192472" align="alignleft" width="300" caption="Nak, besok kalau diizinkan lahir lagi, minta ke Tuhan lahir dari orang tua yang kaya, ya? (Gbr: Google Images)"][/caption] Kecut. Iya itulah senyuman yang tiba-tiba tersungging dengan kental di bibir saya yang memang tidak sebagus bibir Brad Pitt, Leonardo di Caprio atawa juga bintang-bintang Hollywood lainnya. Iya, karena kontras bibir saya dengan mereka persis seperti nasib bangsa saya dengan mereka di sana. Senyum kecut saat melihat koran yang terlambat saya baca, 330.000 siswa terpaksa tidak bisa melanjutkan sekolah. Demikian disebutkan sebuah koran Bandung, kemarin (Pikiran Rakyat, 12/7). Di Hollywood, mereka sejahtera dan bisa mendapatkan kemewahan dan kemungkinan kesempatan anak-anak aktris/ aktor di sana untuk belajar yang jauh lebih baik dari anak-anak negeri saya ini yang konon disebut-sebut sebagai Jamrut Khatulistiwa. Memang koran tersebut mengatakan bahwa itu disebabkan oleh kuota yang tidak mencukupi angka anak-anak SMP dan SMA yang jauh lebih tinggi. Penyebab itu disebut-sebut karena APBD yang lagi dan lagi terbatas, intinya soal duit juga. Tidak hanya di tingkatan pemerintah, tetapi juga di orang tua mereka sendiri. Coba kalau orang tua mereka memiliki uang cukup, setidaknya bisa membantu mereka untuk bisa mengambil langkah lain di saat celah untuknya di sini tertutup agar bisa bersekolah. Bisa jadi ke Kalimantan, Sumatra atawa juga ke Papua, mungkin. Itu pun andai mereka sudi. Tetapi, jangankan jauh-jauh, banyak fakta menunjukkan, untuk di kota sendiri saja--andai juga ada celah--tetap orang tuanya harus memeras otak dengan peras keringat plus rela berpenat-penat untuk mencari uang. Proses mencari uang juga untuk skala 'lebih banyak' itu harus memanggang diri di bawah matahari. Untung juga satu sisi di dalam proses orang tua mereka mencari uang masih tersisip cinta dari Yang Mahakuasa, karena matahari yang memang kian panas tidak sampai dibikin-Nya menjadi sepanas bara. Sehingga nasib orang tua sebagian besar anak-anak itu tidak musti merasakan panas seperti halnya kambing guling ataupun sate. Kontras. Iya, karena memang dari sini tercermin sekali, mereka yang bernafsu untuk maju ke depan untuk dielu-elukan sebagai pemimpin nyatanya sejauh ini bahkan tidak tahu kalau kursi kayu dan bangunan sekolah belum mencukupi sesuai dengan jumlah anak-anak yang kian produktif dilahirkan orang tua mereka. Selanjutnya, kesimpulan ringan dari saya, pemerintah memang tidak melongok pada jumlah dan kondisi rakyatnya secara jernih, akurat, dan tepat entah mungkin mata mereka sudah sedemikian penat sampai kemudian tidak memiliki kekuatan lagi untuk melihat. Wallaahu a'lam, hanya itu yang bisa saya ucap sebagai seorang rakyat sambil mengusap jidat yang sedikit berkeringat. Dalam iseng-iseng melamun pagi ini, saya berpikir andai bisa seperti para Nabi yang kuasa bicara dengan malaikat, saya akan meminta mereka untuk membawa anak-anak ini untuk di bawa saja ke Hollywood sana tetapi terlahir kembali terlebih dahulu. Sebab, jika saja mereka terlahir dari orang tua yang memiliki ekonomi kuat, kuota di daerah untuk pendidikan mereka yang terbatas masih bisa dihadapi dengan siasat. Sebab uang harus diakui memiliki kekuatan untuk mereka sekolah di manapun tanpa khawatir membuat orang tuanya sekarat. Tetapi kali ini saya berpikir untuk tidak terlalu jauh melamun, karena itu tidak membantu apa-apa untuk mereka yang menjalankan peran tersurat seperti diri saya juga, hanya rakyat. ------- Bandung, 13 Juli 2010. Mohon untuk juga bisa singgah ke sini: www.facebook.com/penalelaki
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H