Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Catatan Perawan

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

ilaahilastu lil firdausi ahla, walaa aqwa 'alannaaril jahiimi

[caption id="attachment_65561" align="alignleft" width="300" caption="Sentuhkan telapak tangan indahmu ke dadaku, kekasih (Gbr: Google)"][/caption] Al adawiyya, menatap langit membaca cinta. Saat itu langit menjadi roman terindah yang dibacanya. Bisri menulis berpucuk-pucuk surat cinta. Tetapi surat itu itu dilemparkan ke wajahnya oleh Al Adawiyya. "Bagaimana aku mencintaimu, sedangkan aku sudah penuh berikan hati ini pada-Nya. Cintaku tak bersisa wahai durja." Bisri menangisi sujudnya. Dzunuubi mitslu a'daadir rimaali fahablii taubatan yaa dzaljalaali

***

Al Adawiyya, hanya izinkan suara merdunya membaca puisi cinta, untuk-Nya. Rindu itu telah penuh, cinta itu begitu utuh. Sedangkan aku, hanya berdiri pada satu garis tak berbentuk, sebagai pengecut. Tepat satu abad, aku menaruh iri pada Al Adawiyya. Dengan mencoba menatap Bisri yang kian kencang dengan istighfarnya. Aku melihat jelas, bibirnya membentuk jelas kalimat madah seperti apa yang dikucurkan dari bibirnya yang kering. Di sisinya aku berpuisi. Ini cinta kian tak kumengerti apakah ia berbentuk seorang dewi. Ataukah sekedar rangsang birahi. Seribu puisi tidak pernah memberi arti, jika cinta tetap saja tak kupahami

***

Al Adawiyya masih menatap langit. Entah karena gerah dengan puisiku yang lebih mirip basa-basi. "Jika engkau masih belum bisa utuh menapak di jalan sufi, engkau hanya menjadi lelaki. Pikiranmu akan terus dalam bayang Sang Perawan. Aku pernah membanggakan keperawanan itu, tapi tidak pernah kuberikan pada siapa jua, karena cuma Dia yang kuasa membuatku jatuh cinta. Tanpa perlu kutanggalkan keperawananku." Aku sedang tidak sadar, apakah kalimatnya sempurna merasuk ke dalam kupingku yang penuh bernanah. Melanjutkan kembali puisi-puisi serupa kepul asap di atas tungku berapi. Duhai, mataku penuh dengan gambar bunga. Inderaku masih melekat utuh seluruh harumnya. Cinta membawaku pada nirwana yang tak kumengerti dimana.

***

Surat cinta Bisri kudapati sudah berada ditanganku, kugenggam dengan pucat pasi. Sedang ia hanya berbisik dengan senyum datar."Kau akan merasakan seperti apakah gelora itu, kau harus menggenggam dan merasakan seperti apakah sentuhan bara api. Kau akan temukan bentuk hati yang mungkin terkadang rapi, tapi seringkali membuatmu kian tak mengerti. Itu percik kecil cinta sejati. Yang hanya kau pahami setelah selesai satu abad lagi." Iapun berlalu pergi mengayunkan kaki pada segumpal kabut yang tak pernah kukenali.

***

Al Adawiyya melecutkan satu cambukan ke tubuhku, memerah. Aku hanya tengadah, karena ia kudapati sudah berdiri di salah satu awan yang membuatku buta warna."Kau jalanilah seluruh jengkal jalanan. Pelajari cinta dari kicau-kicau burung saat pagi. Bacalah saja aksara cinta yang ditulis bumi tanpa ngeri. Eja semua kata yang ditulis langit dengan gemintang, awan, mendung, hujan, angin. Ada banyak ruang yang harus kau masuki, untuk kemudian kau temukan ruang manakah yang tepat untuk tubuhmu yang kian kurus karena ketidakmengertian itu."

Lagi, aku hanya bisa berpuisi seakan memaksa melupakan sepi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline