Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Seulanga, Kau di Mana?

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_65249" align="alignleft" width="200" caption="Tsunami membawanya pergi, entah kemana (Ilustrasi: Google)"][/caption] "Bungong seulanga, seulanga.... keumang coet uroeharoem bee bungoeng hai adoe, leupah that meusra, di dalam cinta seulanga malam ngoen uroe...." Nyanyianku tidaklah sederas hembusan angin sore tadi, Seulanga. Apakah alunannya sampai di mana sekarang kau sedang nikmati senja yang pelan merangkak pulang? Tidak terbetik yakin kau akan mendengarnya. Aku tidak bisa mengetuk pintu rumahmu meski hanya untuk seuntai salam dan lantas aku pulang. Terus saja ku alunkan nyanyian ini hingga lidahku tak lagi basah. Bibirku mengering, halaman rumahku ikut kerontang, oleh resah yang menyulut heran di kerut-kerut kening tua Bapakku. "Hudeep teueh saree seulangamatee teueh sigoe, di dalam cinta seulanga malam ngoen uroe oh sayang, dua geutanyoe hai adoe dalam sijahtra" Telah putus senar gitarku hanya untuk nyanyikan bait-bait cinta yang terjelma menjadi potret, memajang entah oleh siapa, pada lorong-lorong panjang waktuku. Ketika itu, ombak kejam belum datang menculikmu dari lamunan penuh harapku. Di bawah naungan bak jaloeh pernah ku nikmati canda renyahmu. Kau tertawakankuk yang mencandai kerbau yang lelah di tepi pematang sawah gampoeng kita. Aku masih belum bisa untuk katakan: aku mencintaimu, Seulanga. Saat ujung matamu mengarah ke bawah alisku, ada debar yang tak bisa ku jadikan puisi. Kembali ku hanya alunkan nyanyian serak dari lidahku yang hampir kelu. Untuk tutupi getaran rasa yang ketika itu belum ku pahami pasti. Bila saja aku bisa, akan ku jadikan huruf-huruf namamu menjadi puisi terindah. Sekarang, aku hanya tatapi lamat bak jaloeh yang tersusupi oleh bayangmu, Seulanga. Aku masih resahkan, di balik bumi mana jasadmu terkubur. Di pinggir Pantai Ujoeng Kareung aku tanyakan ombak yang bergantian menyapa pasir,"kemanakah Seulangaku, ke samudera manakah kalian larikan dia ketika itu wahai ombak?" Ombak hanya ciptakan senandung bisu dan lalu menjadi buih lagi. Kembali aku berdiri di bawah naungan bak jaloeh (pohon pagar) yang sama seperti ketika senyummu belum kau bawa pergi, Seulanga. Belum jenuh ku tatapi cengkrama kuk (bangau) dan kerbau-kerbau yang masih betah bermain di pesawahan ini (Catatan saat jatuh cinta tapi tak pernah terucap, sampai gadis itu pergi bersama tsunami, 2004) Kosakata: keumang coet uroe: mekar saat siang datang haroem bee bungoeng hai adoe: alangkah wanginya sang bunga hudeep teueh saree: kita hidup bersama matee teueh sigoe: matipun bersama malam ngoen uroe: siang dan malam Kuk: sejenis bangau Bak jaloeh: kedondong pagar. Pernah dimuat di: Kabarindonesia.com




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline