Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Harga Nol

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_44031" align="alignleft" width="300" caption="Aku sudah tak bisa menghafal angka-angka (fickar09)"][/caption]

Pernah kukatakan pada bumi, aku tidak bisa memberinya puisi. Maka ia biarkan aku belajar mencaci maki. Ia menyebutkan, caci maki itu lebih indah daripada puisi ketika caci maki terlahir dari kejujuran. Lebih indah dari kelembutan yang muncul dari lorong-lorong dusta.

Mungkin karena kebingungan, aku menjadi bagian dari lelaki yang memilih Nol sebagai angka untuk disulap menjadi bidadari. Yang akan menemaniku menghabiskan malam. Mereka, entah siapa, karena memang wajahnya tak terlihat jelas, memintaku untuk mengambil angka-angka lain yang lebih besar. Aku masih bersikeras memilih untuk menjadikan angka nol itu saja disulap menjadi bidadari yang menemani gairah malamku. Pembunuh jenuh atas lakon yang hanya dimainkan siluet yang tak terlihat jelas dimataku. "Kau keras kepala...!!!" "Iya, aku keras kepala." "Kau batu...!!!" "Iya, aku batu." "Siapa kau?" "Sudah kuteriakkan dari atas semua bukit, aku batu dan akulah kesejatian batu." "Untuk apa engkau ada?" "Untuk pecahkan kepalamu yang terbuat dari tanah kering rapuh...!!!"

***

Terdengarkah oleh kalian derai tawa mereka yang bangga dengan semua angka yang telah mereka miliki. Padahal aku sudah teriakkan beribu kali, bahwa angka selain itu hanya serigala. Angka lain itu adalah drakula, angka-angka seterusnya adalah ular berbisa.

"Hanya dengan pilihan ini maka aku bisa menjamah dan mengelus semua lekuk indah perawan, saudaraku." Bujuk mereka.

"Kau pasti menyesal dengan semua kekeraskepalaanmu itu...!!!" Tukas yang lain.

"Kelak kau hanya menjadi musuh, terasing dan tidak dipedulikan oleh dunia." Ancam yang lainnya lagi.

"Kau hanya akan menjadi orang gila dengan semua pilihan kosongmu itu...!!!"

Aku coba menghela napas, pelan dan masih tetap perlahan. "Kosong itu bukan nol, dan nol bukan kosong." Sayang sekali, keramaian itu membuat aku tidak bisa berteriak keras lagi. Suaraku kalah didepan mereka.

"Kau putus asa, bukan?" Ujar yang pertama.

"Kau kecewa dan sebenarnya sudah tidak kuat mengayunkan langkahmu...!!!"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline