Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Palu Lelaki Tuli

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_54429" align="alignleft" width="300" caption="Kau adalah pahlawan ketika kau tak pernah menghitung jumlah keringatmu (Fickar10. Gbr: Google)"][/caption] Semoga engkau tak pernah menjadikan keringat sebagai bahan hitungan untuk pelajari matematika. Karena cinta tidak membutuhkan angka. Pernah, aku mendengar lelaki yang bernyanyi tentang luka dan beban hidup. Tetapi nyanyian itu tidak untuk diperdengarkan pada dirinya sendiri, pada nurani. Justru dilantunkan hanya untuk membuat dunia akan iba padanya. Juga sering aku melihat, para lelaki yang sedang mengambil bulir-bulir keringat dari kening dan dadanya lalu menghitungnya. Dilakukan sekedar agar ia disebut sebagai pahlawan oleh istri, anak dan para tetangganya. Dan aku menerjemahkan itu bukan sebagai cinta. Pernah, beberapa lelaki lain mencoba mengajak berbicara, seperti apa keniscayaan yang harus diperankan oleh lelaki di atas sebuah panggung yang didekorasi pertama sekali oleh Tuhan. Bahwa semua lakon itu harus dipelajari dengan baik. Melihat dengan jernih semua dekorasi yang ada. Pilihan di sana, juga bisa menambah atau mengurangi bentuk panggung. Tetapi, jangan coba untuk mencerabut paku-paku yang dipalu untuk ketahanan panggung itu. Sepertinya mereka tuli. Karena sering juga kuperhatikan, secara diam-diam mereka memegang pencabut paku, hanya untuk disebut pemberani. Disebut revolusioner. Padahal kehancuran tak pernah lebih indah dari semua yang pernah ada. Beberapa kali aku meminjam palu dari tukang-tukang bangunan, tidak untuk membuat semua paku itu lebih kuat di tempatnya. Tetapi kupilih untuk ketukkan ke kepala mereka yang cuma menjadi perusak. Terkadang, entah karena aku hanya mengayun pelan, palu yang kuarahkan ke kepala mereka, nyaris tak terlihat olehnya. Beberapa orang berhasil kubuat pingsan. Lalu, palu itu kukembalikan saja pada tukang bangunan yang meminjami perkakas itu. "Kenapa kau kembalikan pada tukang bangunan itu, bukankah lebih baik engkau kuatkan dulu paku-paku yang sempat nyaris dicerabut lelaki yang kau palu tadi?" Setalah menyeka beberapa butir keringat yang tak kuhitung, kukatakan saja,"pukulan tukang bangunan ini di semua paku itu jauh lebih berirama, lebih indah untuk kudengarkan. Karena aku juga berkeyakinan, tukang bangunan ini lebih mengenal keindahan daripada aku sendiri." "Kau tidak bangga jika kau disebut sebagai orang yang berjasa oleh pelaku lakon lain yang juga bermain di panggung itu nanti?" "Kebanggaan itu kukira bukan pada penyebutan apapun, tetapi yang lebih penting dari itu apa yang bisa kulakukan. Kemudian, seberapa mampu pukulan dari palu yang kupinjam itu bisa membuat orang-orang yang kupukul jatuh itu benar-benar sadar setelah pulih dari pingsannya. Meski aku dikatakan tolol. Aku tidak butuh berpikir terlalu dalam, jika dengan berpikir dalam membuatku tidak bisa melakukan apa-apa." "Lalu bagaimana jika pukulanmu malah membuat lelaki tadi itu menjadi tuli." "Menjadi tuli yang sebenarnya lebih baik untuk lelaki seperti itu. Daripada ia berpura-pura tuli, hanya membuat kita lelah berbicara saja." Aku selalu menjawab pelan pada beberapa sahabat yang membuka lebar telinganya seperti ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline