Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Teologi Birahi

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_61814" align="alignleft" width="300" caption="negeriku pasti akan kembali dipenuhi rerumputan indah, dan matahari akan semakin cerah. Seperti gairah para pecinta yang kian memerah "][/caption] Inilah madah sepasang puyuh, yang dengan lirikan tajam menari di balik ilalang, melirik langit. Apakah Tuhan melihatnya ataukah hanya menjadi sasaran terkaman beberapa ular  lapar. Yang menjadi pasangannya sama sekali tidak memiliki sayap, mengintip dari tempat-tempat yang kadang tak terintip manusia, lalu rubuhkan banyak rumah-rumah manusia yang pernah menepuk dada mencaci bumi.

***

Aku hanya puyuh kecil yang takkan pernah mungkin bersanding denganmu di pelaminan penuh cinta untuk tetaskan puyuh raksasa, yang kuasa menampar angkara. Haruskah kucoba labuhkan cinta di dermaga hatimu, duhai sang perkasa? Begitu surat sang puyuh bersayap namun terus setia mencoba untuk menjejak tanah. Dengan sepenuh rindu, angin puyuh menulis beberapa ribu abjad di tanah berdebu. Inilah persebadanan ketulusan duhai kekasih. Yang ingin kujadikan sebagai benih-benih angin sepoi di rahimmu kelak. Yang akan memberi sejuk pada bumi yang masih terus disenggamai keangkaraan. Aku sudah diajarkan para malaikat untuk tetaskan mimpi itu hanya bersama dirimu, pujaan hatiku. Aku tak pedulikan sayapmu yang enggan mengepak, karena gemuruh cinta ini kuasa membawamu pada sketsa cakrawala penuh warna pelangi indah. Membuang semua resah. Dan diatas awan kita berdua mendesah hanya dalam cinta yang tak setengah. Balas Angin Puyuh.

***

Dalam gejolak rindu yang mengelegak. Tersepakati pertemuan di sisi reranting belukar yang terlihat indah oleh gemuruh cinta.

"Aku sangat merindukanmu kekasih. Ingin kudekap tubuh mungilmu untuk menyapa bintang-bintang" Ujar angin puyuh dalam balutan seragam asmara yang ia dapatkan dapatkan dari istana para dewa. Termalu-malu. Puyuh kecil bersayap mungil mengepak menggigil dan membawanya kemana-mana, karena cinta dan rindu juga dirasakannya.

"Duhai, engkau sang perkasa. Seperti apakah indahnya malam ini ketika ku berada di dekapan dadamu."

"Kemarilah..." Ujar puyuh yang terlihat tak bertubuh

"Kutaburkan benih kesejukan di rahimmu sayang. Dengan sperma puisi, dengan irama senggama yang diajarkan para dewi. Yang pernah menjadikan Zeus kian perkasa menikam mati beribu iblis yang selalu ketus."

Terlewatilah sebuah malam dalam desahan sepasang puyuh.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline