Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Para Pemalas yang Bermimpi Bertemu Tuhan

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Menderu rindu para pecinta, menggebu asa setiap mereka yang menyimpan rindu. Tapi, wahai hati, akan ku kuburkan kau bila tak kuasa lagi gerakkan langkah kaki jiwaku menuju-Nya. Nyaris tak pernah sepi seisi sejarah bumi tentang orang-orang yang masih saja mempertanyakan keberadaan Tuhan. Mereka 'mempertuhankan' sikapnya untuk tidak mengakui Tuhan. segurat bangga sering kusaksikan dari wajah-wajah mereka. Bangga karena mereka merasa telah lepas dari ketergantungan. Iya, ketergantungan pada Tuhan. Sekedar untuk menetralisir upaya hipnotis mereka. Aku kerap mengatakan pada diri sendiri. "aku adalah ksatria dan lebih mulia bila aku hanya bergantung pada Tuhan yang kuakui sebagai Maha Segala." Daripada, aku mengingkari Tuhan namun menghamba pada sesama manusia. Mungkin terdapat logika yang terorientasi kemuliaan disana. Tetapi sah toh menjadikan kemuliaan sebagai orientasi hidup? Mereka selama ini kulihat ada dimana-mana. Sebagian dengan gagah berani mengikrarkan diri sebagai seorang atheist. Tetapi, mereka juga terlihat belum pernah memberikan sebuah prestasi yang luar biasa dari ke-atheist-an mereka. Bila menatap ekspresi wajah-wajahnya, malah terlihat mereka malah sering kalah dengan diri sendiri. Aku melihat mereka, aku menatapnya lekat. Aku percaya mataku kuyakin cukup mampu menembus dada mereka. Mereka kukira hanyalah kumpulan dari individu yang tidak berani beranjak dari kemalasan diri mereka sendiri. Lantas, disebabkan terlalu pagi merasa lelah dalam pencarian, mendeklarasikan diri sebagai seorang atheist. Ah, padahal ku yakin mereka juga tahu. Tidak akan ada sesuatupun yang bisa dilakukan oleh seorang pemalas. Jangankan untuk melangkahkan kakinya ke pulau-pulau kebenaran, untuk membuka mata saja melihat yang ada disekelilingnya sendiri mereka tidak sanggup. Jangan pernah bermimpi untuk melihat Tuhan dari kemalasan. Jangan terobsesi mengenal dan tiba pada kebenaran jika keengganan terus saja tidak mampu ditanggalkan. Coba sebentar, apakah benar mata yang masih berfungsi itu sudah terfungsikan dengan baik? Ataukah jangan-jangan mata itu sudah tidak bisa lagi melihat matahari. Gali saja kuburan-kuburan bila memang sudah tidak ada lagi gairah untuk mencari, dan diamlah. Jikapun masih memaksa untuk bicara Tuhan. Lepaskan dulu baju-baju kemalasan. Baju itu hanya akan menjebakmu dalam keangkuhan dan kepicikan. Engkau akan cenderung melihat dari sudut yang engkau yakini saja. Dan sikap seperti itu selamanya akan menjadi musuh ilmu pengetahuan, musuh intelektualitas. Memang, menjadi kebiasaan banyak orang-orang yang berada di atas tanah berisi cacing ini. Saat sesuatu hal buruk diterimanya dalam hidup, dengan serta merta memilih untuk mengvonis Tuhan sebagai tersangka. Mencari penyebab yang melulu diluar diri sendiri. Tidak akan pernah ada kebijaksanaan dengan pemujaan sikap seperti itu. Lihatlah dengan jujur, pada penyebab terlahirnya sebuah kesimpulan. Darimana kesimpulan itu bermunculan? Kesalahan Tuhan atau ketidakmampuan pada penerjemahan efek positif dari itu? Lagi, aku masih ingin katakan, keluarlah terlebih dahulu dari kemalasan pencarian, sebelum mengikrarkan keyakinan menolak eksistensi-Nya. Yakinlah, keberhasilan keluar dari penjara kebodohan serupa itulah yang akan memberi celah lebih besar untuk menelusup melewati lorong-lorong menghimpit menuju kebenaran




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline