Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Aceh, Adat yang Tergerus

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_52971" align="alignleft" width="245" caption="belaian tangan ditubuhmu hanyalah dari pundak-pundak yang tak bertulang, kekasihku (Gbr: aceh-institute.org)"][/caption] Saya tidak akan berbicara tentang observasi untuk melihat persoalan adat dan tradisi di Aceh. Karena mempertimbangkan bahwa dari kecil sudah berada di sana, lahir, besar dan mungkin mati di Tanoeh Aceh. Sering saya merasa kelu, tidak habis pikir dan juga ingin untuk berceramah. Tentang masalah adat di depan warung-warung kopi. Tetapi tentu pilihan itu hanya membuat orang-orang menduga saya telah kerasukan dengan sesuatu. Baiklah, hari ini nyaris tak ada lagi yang bisa dibanggakan dari Aceh. Kalau saya seorang bule, saya akan teriak dengan sinis, nothing...!!! Kenapa itu terjadi, sedang saya masih menggelantungkan berjuta harap di tanoeh itu? Iya karena memang entah tersengaja atau tidak, telah terjadi pembiaran terhadap penggerusan itu. Geram itu kian bertambah, saat kemarin membaca di koran: Polisi Syariat memperkosa Tahanan. Memang itu ada kaitan dengan adat? Satu sisi tidak, tetap di sisi lain sangat menjelaskan sebuah karakter baru yang entah datang dari mana. Iya karakter adat yang begitu tidak bermata lagi. Jika saja adat masih seperti dahulu yang betul-betul menyatu dengan agamanya sebagai induk, kejadian itu tidak perlu terjadi dan mencoreng harga diri ureueng Aceh. Kejadian itu menjelaskan tentang ketergerusan adat yang sudah sangat parah. Dulu adat dijadikan perisai untuk masyarakat tidak terjebak dengan tindak yang mencoreng harga diri. Nah yang sekarang baru saja terjadi, adat semakin dikangkangi. Syariat yang semestinya bersebadan dengan adat justru hari ini entah tidak disadari telah ikut terkangkangi. Pikiranku ikut dipenuhi api kemarahan, kata di lembar koran berkelebat di otak, tahanan diperkosa polisi syariat. Ini satu potret kecil, adat yang tergerus

***

Masih teringat, pada satu masa, saat gampoeng yang kucintai masih dipenuhi dengan kecintaan pada nilai yang teranut dengan jujur. Nilai yang didekap erat serupa kekasih. Memberi warna-warna yang begitu indah, persis seperti pelangi. Tidak ada yang pongah dengan identitasnya. Aceh menjadi gadis pemalu yang mengundang rindu. Tetapi, jangan sebut seperti itu untuk negeri itu pada hari ini. Rakyat dan adat persis lakon anak-anak kandung yang memperkosa ibunya sendiri. Apalagi yang bisa diharap. Sekelumit pesimis yang mungkin berlebihan mencuat. Tetapi inilah bentuk sebuah peti gelisah yang bersenggama dengan resah. Syariat yang dijejalkan di jengkal-jengkal tanoeh Aceh, sama sekali bukan akar-akar padi yang ditanam oleh petani-petani yang telah menikahi lumpur. Tetapi, tangan-tangan yang menggeranginya hanya berasal dari pundak-pundak yang sudah tidak bertulang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline