Di rembang petang terkadang nasib membuat malaikat pun meradang serupa jalang.
***
Sampai Laila ke rumahnya dengan menyeret si Kecil Ramat yang menjerit dengan suara yang melengking menyayat hati itu. Di mulutnya keluar sumpah serapah yang ditujukan untuk si kecil,"bret mak kah, ka pikee sikin nyoe eik dipeugoet lee yah kah, (kemaluan ibumu! kiramu pisau ini bisa dibikin bapakmu?" Laila mengucapkan kalimat itu tanpa sadar, bahwa ibu si Ramat adalah dirinya sendiri juga. Ia juga tidak terpikir, pisau kecil itu memang tidak bisa dibikin Ayah si Ramat yang juga suaminya Laila, tetapi uang untuk belikan sikin itu adalah pemberian Hasan juga. Entah mungkin ia sudah begitu kalap dengan nasib atau karena apa, sulit dipahami.
Setelah mencampakkan Ramat di lantai tanah, tepat di tumpukan tahi itik yang terlihat masih baru dan basah. Ramat merasa semakin pilu, berharap ibunya masih memiliki kalbu. Tetapi tidak demikian dengan perempuan itu.
"Moe lajue, ku sak capli lam bah ngoen tungoe apui (Nangis terus, kusumpal mulutmu nanti dengan kayu bakar!)." Pekik Laila di samping kuping anak kecil ini. Tentu, si Kecil ini bukan berhenti menangis tetapi justru kian lengkingkan tangisnya, ungkapkan perih hatinya sebagai seorang anak kecil yang dinista ibunya sendiri. Lengkingan tangis yang bukan membuat ibunya iba, tetapi benar-benar makin kalap.
Di dapur, masih ada sisa kayu yang diujungnya masih tersisa bara yang lumayan panas. Karena Laila sering memasak dengan pergunakan kayu bakar saja dengan tungku terdiri dari 3 batu yang ditanam mirip nisan. Segera, tungku itu menjadi tujuannya. Diambilnya satu kayu bakar yang masih sedikit menyala, ditiupnya kembali untuk lebih terlihat baranya. Dibawa ke hadapan Ramat kecil.
"Diam! Kalau masih juga nangis, bukan lagi cabe, tapi kayee apui (kayu bara) ini kumasukkan dalam mulutmu!"
Tangis Ramat yang demikian semakin membuat Laila kalap. Semakin besar saja tangis si kecil ini. Geram, dipukulnya pantat Ramat yang sebenarnya terluka sebesar telapak tangan orang dewasa gara-gara diseret tadi. Spontan, Ramat kian besarkan suara tangisnya akibat kesakitan yang kian menjadi. Hampir saja Laila jejalkan kayu yang masih memiliki api diujungnya itu ke mulut Ramat. Untung cepat sadar perempuan ini. Hanya saja, sadar dimaksud bukan menghentikan kekerasan terhadap anaknya yang sebenarnya masih sangat membutuhkan kasih sayang ini. Justru, dipikirannya teringat balsem yang kerap dipakai suaminya di dalam kamar.
Tak lama balsem itu sudah berada di tangannya. Diambilnya dengan telunjuk tangan yang memang sudah jauh dari kelembutan itu, diusap di kedua telapak tangannya sedang Ramat bersama tangisnya yang masih dengan volume melengking. Yap, balsem di kedua telapak tangannya diusapkan ke mata kecil Ramat. Beberapa saat suara Ramat lenyap. Bukan karena ia sudah berhenti menangis namun disebabkan sudah sedemikian keras ia keluarkan tangisnya sampai tidak menimbulkan suara. Miris, bagi yang punya hati pasti akan merasa teriris melihat 'bukti cinta' untuk anak ala Laila ini.
Ramat meronta karena kedua matanya terasa perih tapi tetap dengan tangis yang sudah tidak ada suara lagi. Terbanting-banting sendiri disebabkan panik oleh efek balsem yang disapu ibunya itu ke matanya. Anak kecil ini merasa begitu berat menanggung perihnya balsem yang mengenai kedua matanya itu.
Selang setengah jam, kecapaian menangis, Ramat kecil tergeletak tertidur atau pingsan, tidak jelas. Tapi masih kentara terlihat sisa isakannya. Sedang Laila sudah tidak peduli selain hanya mengeluarkan sumpah serapah yang bisa dipastikan bukan cuma karena pisau yang dibikin tumpul oleh Ramat, melainkan oleh luapan kemarahan yang terpendam terhadap Hasan, ayah Ramat yang juga suami Laila. Anak kecil yang dikandung dan dilahirkannya sendiri itu dibiarkan tergeletak di lantai tanah. Entah karena mengira ia sudah melahirkan anak itu, maka ia merasa enteng saja main siksa bocah kecil tidak berdaya itu. Wallaahu a'lam.