Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Petaka Nusantara Durja

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_25782" align="alignleft" width="300" caption="Biar saja aku menjadi pembunuh, segala durja"][/caption]

Kau takkan pernah dimengerti oleh mereka yang memilih untuk tidak mau mengerti.

Terkadang aku merasakan miris dengan beberapa sahabat yang memilih berbeda. Berbeda dalam berpikir dan bertindak. Dalam berpikir, 'sesalah' apapun, aku mencoba memahami, setidaknya sebagai ekspresi bahwa aku menghargaimu sahabat, karena kau telah berpikir. Ketika kau berpikir, itulah getar yang layak dipercaya untuk kau disebut manusia. Ketika kau diam saja, tanpa mengizinkan semua yang kau saksikan masuk dalam relung renung di kalbu dan pikiranmu, kau gagal untuk menunjukkan kemanusiaanmu, kawan. Mungkin, aku akan memperhitungkan persoalan saat kau bertindak. Sesuci apapun pikiranmu, namun saat tindakanmu menzalimi siapa juga, aku hanya akan katakan,"dunia sedang mengarahkan pedang-pedang permusuhan, terhunus berkelebat dan siap mengayun ketubuhmu." Musuh kebenaran bukan berada dalam pikiran. Musuh terdefinisikan tegas hanya dalam sikap. Akupun terima jika kau sebut kesimpulan-kesimpulanku hany sebagai sebuah kesimpulan dangkal. Tetapi aku hanya ingin katakan bahwa, lihatlah manusia sebagai manusia. Jangan berharap lebih dari mereka. Namun begitu, aku juga percaya, sahabat. Sepertinya akan sangat mustahil pemilik pikiran suci melahirkan tindak keji. Aku meyakini itu. Bila melihat kau alirkan tinta-tinta hitam dalam sejarah, aku yakin telah penuh hati dan pikiranmu dengan tinta itu. Karena tinta ini telah kau tuang sendiri kedalamnya, kau yang menjadi pemilih. Juga halnya aku. Bila hari ini dunia mencatatku sebagai seorang bangsat, aku akan tunjukkan dengan tegas, aku akui dengan tegas, telah lama berada pikiran bangsat di pikiranku. Tak ada siapa yang menyalahkan siapa. Saling menyalahkan hanya menjadi penguat kepicikan yang gagal kita tebus dengan pengorbanan. Sebaiknya, kita berdamai dulu dengan diri sendiri, mari kita akui semua catatan buram yang kita miliki. [caption id="attachment_25788" align="alignright" width="234" caption="Biarkan marahku menyala"][/caption] Jika memang masih ada yang belum berani untuk berdiri dengan perkasa, "inilah aku yang telah melakukan seribu kesalahan yang menginjak-injak nilai kemanusiaan." Mari, kita izinkan kematian menjadi sejarah kita. Lupakan ranjang empuk, hunus pedang-pedang tajam yang telah ditelusupi panas neraka. Tebas ke tubuh pemilik jiwa kemunafikan. Tubuh-tubuh itu telah membuat mata kita tak leluasa untuk melihat hijau daun yang ada dihutan-hutan. Tubuh-tubuh itu yang telah pongah membendung air di sungai-sungai kita. "Sebelum perang ini dimulai, bersihkan bulu-bulu di dada kita semua, wahai saudaraku para lelaki. Kekarkan tangan-tanganmu untuk lebih kuat menggenggam pedang dan parang. Agar mudah kau pisahkan kepala dan leher para durja. Jangan biarkan dulu tangan itu tersentuh para wanita, akupun sudah berjanji seperti itu." Jangan lupa, waktu kita berkemas hanya sedetik. Setelah itu hanya kematian mereka atau kita!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline