Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Harga Orgasme (Politikus dan Pelacur )

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sangat sedikit dari mereka yang bangga pada nurani. Mereka hanya mengenal libido dan memaksakan orgasmenya. Tanpa peduli pada rakyat yang terlihat dimata serupa pelacur. Sebenarnya aku kagum juga dengan beberapa politikus, mereka yang masih berkesempatan untuk berzikir di masjid-masjid. Mengikuti ritual di gereja-gereja, Viraha dan tempat-tempat yang menyediakan ruang untuk mendengar musik lembut kebenaran. Tetapi, sering juga kualirkan sajak-sajak berisi makian. Sajak itu, dengan bahasaku sendiri memaki mereka yang lebih memilih diskotik-diskotik, tempat-tempat pelacuran. Hanya berani merogoh kantongnya dengan beberapa uang recehan. Mendapatkan orgasme dalam desah egoisme. Sepulang dari sana, lantas mereka berpikir bahwa rakyat tidaklah lebih dari pelacur. "Cukup dengan beberapa lembar recehan, mereka bisa membuat aku orgasme. Aku bisa tiba di puncak nikmat." Mereka adalah orang-orang yang sangat percaya diri memang, meyakini bahwa tidak banyak pelacur yang akan berani berteriak bahwa mereka belum temukan orgasme. "Recehan itu lebih penting bagi mereka daripada sekedar orgasme. Biarlah aku dulu yang merasakan kenikmatan ini."

***

Setiba dirumah, mereka memasang wajah sewibawa mungkin. Anak-anaknya menatap penuh kagum, Ayahnya menjadi orang penting. "Ayahku hebat. Dia menjadi laki-laki perkasa. Ia bisa berikanku apa saja yang aku mau. Besok aku akan minta untuk mengganti mobil yang dibeli bulan kemarin. Teman-temanku mengatakan, sekarang sedang ada produk mobil yang lebih bergengsi, owww!!! Cuma Ayahku yang bisa penuhi ini." Selanjutnya anak-anak itu memberikan kecupan cinta diwajah ayah tercinta. Seringkali Ayahnya memang pulang ketika mereka sudah berangkat tidur. Satu ciuman di pipi lelaki berwibawa itu cukup menjadi isyarat atas apalagi yang harus dibeli besok pagi. Karena pasti suilt untuk mengatakan sesutu dengan berbicara yang menghabiskan banyak kata, "hanya menghabiskan waktu saja, sebut saja yang kamu mau, itu saja. Waktu itu mahal." Dalih sang ayah. Saat istri dengan malu-malu meminta haknya untuk mengusir dingin malam,"Ah, Bu. Sudah terlalu cape. Tadi banyak sekali yang harus Ayah selesaikan di kantor. Tolong maklumi ya Sayang." Sambil mengecup bibir istrinya tanpa perasaan apa-apa. "Paha-paha mulus pelacur muda langganan lebih menarik untuk dibayangi daripada istriku yang sudah melahirkan beberapa anak. Bibir mereka lebih seksi" Begitu ia beralasan pada dirinya. Syukur-syukur, ada juga istri-istri politikus yang menghindar untuk berselingkuh. Tetapi, yang memang sedang mengalami usia yang masih bergelora,"Suamiku juga selama ini terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Boleh dong aku gantikan peran suamiku, biar dia tidak terlalu terbeban." Senyum kecilnya sambil merias wajahnya untuk tetap terlihat cantik.

***

Entah sampai kapan negeri ini lebih mampu untuk melahirkan politikus-politikus yang lebih menghargai rakyatnya? Sedangkan untuk melahirkan saja, banyak perempuan mengeluh. Aku percaya, perempuan mengeluh bukan karena tidak sanggup ataupun tidak ikhlas, tapi sepertinya memang ia punya alasan yang lebih bijaksana,"untuk tidak melahirkan lagi calon-calon politikus culas seperti suamiku." Jawab perempuan ini sambil membaca koran.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline