Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Aceh (Gagal) Merdeka

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_33886" align="alignleft" width="300" caption="Biarkan saja darah yang pernah menetes. Tapi jangan biarkan mengalir hanya sampai perut saja (fickar09)"][/caption] Desember menjadi sebuah catatan untuk masyarakat Aceh. Desember adalah slide yang berisi memori darah, memori luka, memori airmata dari sebuah gerakan yang lahir menampar bocah bernama Indonesia. Tolong jangan sandingkan dulu tulisan ini dengan dugaan-dugaan, dengan melodi subversi. Bersihkan dulu lendr-lendir otak dari debu. Aku ingin berbicara tentang bangsa (hilang). Dan lihat dengan kebeningan hati atas kehausan yang yang telah mencekik mati begitu banyak anak bangsa. Mereka pernah meraung. Dan kemarin (5/12). Mereka yang telah puluhan tahun pasang badan sebagai pemeran antagonis di opera nusantara, berkumpul. Mengayunkan langkah kelu bersama kenangan, atas kemerdekaan (yang gagal). Tanpa dupa, doa mengepul di beberapa rumah dan kuburan. Beberapa tersenyum getir, nyeletuk,"kita kalah." Sebelumnya sempat terjadi, langit di atas tanah Aceh penuh dengan buih yang keluar dari beribu mulut yang berdebat, pentingkah melakukan upacara milad GAM? Sebagian mengatakan tidak penting, karena pikiran idealnya harus diarahkan pada perdamaian yang telah terjalin dari Agustus 2005. "Itu semua kemunafikan." Keluh seorang sahabat yang mati dalam perang, kusambangi hanya untuk mendengar penuturannya tentang Aceh dalam pandangannya sebagai orang mati. "Mereka hanya para perenang dan pengail yang berani bermain di pinggir-pinggir sungai, dan tertawa girang hanya karena sudah mendapat aneuek bileh (terj: ikan-ikan kecil). Sekarang mereka sebenarnya sedang sibuk dengan tulang-tulang kecil aneuek bileh yang tersangkut di tenggorokannya." Ia duduk di atas nisannya. Sebuah nisan yang sama sekali tidak bertuliskan namanya. Matanya tanpa cahaya, hanya berisi isarat kelu "Tetapi, masyarakat lebih membutuhkan perdamaian ini, rakyat harus hidup. Mereka leluasa mencari nafkah?" Debatku "Semua bangsa akan mati, hilang lenyap ketika otak hanya dibuka untuk berkomunikasi dengan perut. Kau tidak tahu, darah lebih indah dari warna apapun, disaat darah itu mengalir bersama cinta. Untuk cita-cita mulia." "Kau menyesali perdamaian ini?" "Mungkin." Jawabnya, seperti terapung suaranya. "tetapi, aku tidak melihat itu sebagai perdamaian. Justru itu adalah kegagalan. Bukan persoalan lepas dan tidaknya Aceh dari Indonesia. Tetapi ini lebih pada kegagalan mereka mengalahkan suara perut." Aku ingin bertanya lebih jauh. Tetapi, kuburannya telah kembali terlihat sebagai kuburan biasa. Tanpa mengeluarkan kata-kata. Hanya daun-daun kecil jatuh dari beringin tua disisi kuburannya. Meulaboh 5 Dec 2009

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline