Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Perempuan Pinggiran

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_123005" align="alignleft" width="300" caption="Mereka juga perempuan bersama nasib yang juga tertulis di badan (Gbr: suara merdeka)"][/caption] Emansipasi bukan untuk mereka. Karena ada hal yang lebih penting, nasi. Iya, mereka itu berada dalam labirin hidup yang jauh dari kesempatan untuk bisa merasakan kehidupan sebagai perempuan yang dihargai. Jangankan oleh suami sendiri, oleh manusia yang sejenis kelamin dengannya juga jarang bisa mendapat meski sekedar empati. Sama sekali mereka tidak tertarik dengan berbagai teori, karena setiap hari hanya berpikir seperti apa hari ini dirinya bisa mendapat meski hanya sebungkus nasi. Tentu saja, mereka juga tidak berselera untuk menelan buku-buku tebal walaupun karena alasan untuk lebih meningkatkan citra  diri bahkan harga diri. Lha, bagaimana ia bisa memakan buku-buku itu karena memang tidak ada nama aksara satupun yang sempat terhapal di kepalanya. Tetapi, satu hal yang kukagumi dari perempuan-perempuan itu, mereka tidak pernah menyesali diri. Perempuan Desa Sedikit kusisipkan tentang perempuan yang masih melenggang pinggulnya bukan untuk belajar tari [caption id="attachment_123011" align="alignright" width="300" caption="Gbr: Suara Merdeka"][/caption] balet. Tapi menapaki jalanan yang diapit jurang, jauh di sana di gunung kampung, hanya untuk menderes karet. Biasanya mereka adalah perempuan janda yang tidak mempermasalahkan dirinya ditakdirkan sebagai perempuan jelata. Langkah kakinya tidak kalah dengan lelaki yang menyebut diri perkasa. Mereka merambah hutan, menapak jalanan rimba yang terkadang terancam dengan babi hutan bahkan macan. Oya, tidak ketinggalan juga ancaman gajah yang cukup bisa membuat remuk seluruh badan. Tetapi nasib ditulis oleh Tuhan dan mereka menjalani dengan semua yang mereka bisa. Sama sekali tidak ada sedu sedan. Sebagian mereka menjadi buruh untuk cuci pakaian, milik tetangganya. Di sungai-sungai yang tak lagi jernih, dibawah matahari yang tak sekedar memberi cahaya, tapi malah ikut kejam membakar badan. [caption id="attachment_123020" align="alignleft" width="300" caption="Gbr: Suara Merdeka"][/caption] Berharap besok pagi cukuplah sekedar bekal anak ke sekolah dengan sedikit bekal jajan. Ada juga yang menjadi buruh tani, menikmati lumpur untuk dapatkan rupiah meski seringkali saat menakar keringat dengan uang diperolehnya, sangat jarang sepadan. Tetapi memang nasib sudah mengajaknya untuk tetap rela bersebadan, menerima dan menjalani semua beban dengan senyuman dan keikhlasan. Perempuan desaku adalah perempuan yang cukup membanggakan. Seperti halnya satu perempuan, ibuku, yang juga kubanggakan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline