Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Lelaki Mencari Kutu

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_90738" align="alignleft" width="300" caption="Mungkin dalam perjalanan sejarah besok pagi, kita sendiri sudah lupa bahwa kita adalah lelaki (Gbr: Detik)"][/caption] Sibaklah rambut perempuan kita. Setelah mengecup kepalanya dengan cinta. Dalam pekat rambut indah itu, kukira tidak akan ada lagi kutu. Mereka sudah saling mencari makhluk itu dari sejak Siti Nurbaya belum dikenal Marah Rusli. Ketika Datuk Maringgih masih tertatih, barangkali. Mungkin dia juga sedang mengenal rasa, seperti apakah cinta? Namun, jika tetap bersikeras untuk melihat seperti apakah perempuan kita mencari kutu, sedang kita sudah berada di masa sekarang. Bunuh saja dulu beberapa dari mereka untuk hidup lagi di perjalanan waktu ketika itu. Bukan menghilangkan nyawa, namun hanya mengajak untai nyawa mereka kembali sebentar ke sana. Apakah mereka bicara tentang cinta? Tentang suami yang sudah lupa membawa pulang uang belanja? Atau, bisa jadi mereka keluhkan kita yang lupa menulis puisi ringkas saja untuk mereka. Karena alasan, agar mereka tidak larut dalam manja. Lupakan kata-kataku. Toleh saja kembali pada pekat rambutnya. Jika terlalu berkilau dan sedikit berbau, jangan pusingkan itu. Karena perjalanan waktu ketika itu memang menjadikan bahan yang begitu alami untuk sekedar mencari kutu. Minyak kelapa sisa. Begitu pekat rambut perempuan kita, kawan. Membayangkan menghitung tiap helainya, mungkin saja kita sudah lebih dulu mati sebelum sempat kembali ke saat sekarang. Namun justru, tangan lembut mereka begitu gemulai menarik satu-persatu kutu-kutu di rambut perempuan di depannya. Terus begitu, dalm canda berbarengan dengan cekikikan yang membuat kita kian jatuh cinta. Entah kita sudah pelajari apa dari mereka. Atau kita sudah memilih untuk biarkan saja tanpa menarik pelajaran kejelian darinya, terus berbangga hanya karena kita sudah terlahir dan dewasa sebagai lelaki. Padahal belum pasti besok pagi kita mati sebagai lelaki?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline