Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Belajar Lagi tentang Cinta

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Obrolan kecil terjadi. Darimana harusnya kita belajar cinta? Dari film-film Korea yang sekarang kian marak mengisi televisi? Iya, itulah yang menjadi sebuah diskusi ringan saya dengan seorang rekan. Dan, disana saya berpijak pada keyakinan hati yang terdalam yang pasti dimiliki setiap manusia. Belajar cinta dengan cara menyelam ke kedalaman diri. Tak lama saya sendiri yang mendebat diri sendiri, tanpa belajar dari siapa-siapa apakah mungkin kenal dengan cinta itu? Hm, kembali saya tercenung dan merenung. Hati terdalam menjadi tema selanjutnya dalam "diskusi" yang saya lakukan dengan diri sendiri. Begitu kuat meresap di ruang-ruang pikiran. Berkelebat gambaran orang-orang disekitar saya yang berbicara tentang cinta. Beberapa meributkan cinta dari sisi definisi. Yang lain sudah mengabdi penuh pada keyakinan, tidak ada yang harus dibahas dari cinta. Cinta itu tidak sekedar rasa, namun ia adalah bentuk sikap, bentuk kesediaan untuk berkorban. Dan, saya sendiri memasukkan diri sendiri dalam kelas orang-orang yang tidak ingin melihat cinta secara parsial. Terasa picik jika saya ikut mendeklarasikan cinta hanyalah untuk orang-orang yang terdekat. Baik untuk kekasih atau istri (bagi yang sudah beristri). Baik, jika yang paling menarik adalah membicarakan cinta hanya bila dikaitkan dengan pasangan sendiri. Figur yang mengisi nyaris seluruh urat-urat yang ada di jiwa. Nah, jika begitu saya berkeinginan sekali untuk nyeletuk dengan keyakinan dan sudut pandang "subjektif" saya. Bahwa, bukanlah disebut cinta jika orang yang "merasakannya" malah kian tidak berdaya. Membuat orang yang dihinggapinya terasa lemah. Dan logika itu pula, sampai membuat saya mengeluarkan kalimat,"kita bubarkan saja hubungan ini, mungkin saja akan membuat masing-masing kita merasa lebih tenang." Kalimat ini saya keluarkan nyaris tanpa ekspresi pada sesosok perempuan yang pernah menghinggapi reranting pohon hati. Argumen saya pada diri sendiri adalah, jika yang saya rasakan ketika itu adalah cinta, maka cinta tidak dibutuhkan ketika hanya membuat tubuh dan jiwa kian kuyu melemah. Semangat menghilang seperti yang diceritakan dalam roman klasik Laila Majnu. Sekali lagi, ini mungkin adalah sebentuk penglihatan yang sangat subjektif dari saya. Bila ini adalah ketololan, maka saya persilahkan untuk menyebut ini sebagai ketololan saya. Banyak kasus yang saya amati sepanjang sejarah saya sudah bisa berpikir. Orang-orang penting terlibat skandal oleh "cinta". Pria dan wanita yang kecewa dan patah hati, beberapa memilih untuk bunuh diri. Dari sana, saya memperhatikan, harus jelas benar dipilah antara cinta dengan perasaan yang diaduk ketololan diri sendiri. Lagi, karena saya melihat bahwa cinta seharusnya memberi energi. Menjadi suplemen untuk seseorang berusaha, bangkit memberikan yang lebih baik pada dunia. Ketikan, misal saja, ada seorang lelaki atau perempuan hanya menuntut perhatian untuk dirinya sendiri dari pasangannya. Itu, kalaupun masih dipaksakan untuk disebut sebagai cinta, tetaplah sebuah bentuk cinta yang sangat tidak penting. Silahkan campakkan kedalam tong-tong sampah. Dengan bahasa keakuanku, aku melihat cinta itu lahir dari matahari. Ia terang, menerangi ruang-ruang pekat yang lepas dari atap-atap kecurangan, dusta dan kemunafikan. Bila atap dan jendela kejujuran masih terus saja ditutup, tidak ada ventilasi memadai untuk cinta itu datang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline