[caption id="attachment_353301" align="aligncenter" width="546" caption="Yusril terlihat lelah, ketika rakyat lebih dilelahkan oleh berahi tak terbendung para politisi penyembah kekuasaan (Gbr: KOMPAS.com)"][/caption]
Yusril Ihza Mahendra diakui sebagai orang yang khatam berbagai hal yang berhubungan dengan tata negara hingga hukum yang terdapat di Indonesia. Dia adalah seorang ilmuwan, atau orang yang ahli atau banyak pengetahuannya mengenai suatu ilmu. Lalu, di tengah sengketa Pilpres 2014, di manakah ia berdiri? Bagaimana konsekuensi dari keberpihakannya?
Ya, itulah tanda tanya yang saya amati begitu mencuat di tengah masyarakat. Terutama saat berdiskusi dengan beberapa sahabat yang memang lebih mengerti seputar dunia hukum dan politik.
Tidak berhenti di sana, ada pula yang menggugat landasan pikiran Yusril dan referensi yang ia paparkan. Thailand, seperti disinggung sendiri oleh Yusril di sidang Pilpres, dijadikan sebagai rujukan perbandingan atas apa yang terjadi di Indonesia. Hingga muncul pertanyaan lainnya, apakah Thailand adalah referensi yang tepat untuk perbandingan tersebut?
Beberapa memang berpandangan, referensi yang dijadikan landasan argumen Yusril tidak salah dan boleh disebut sudah tepat. Karena di sana memang terlihat komitmen pihak penegak konstitusi untuk mengambil risiko besar, yang bahkan dibayar dengan kerusuhan hingga menelan korban rakyat di negara tersebut.
Alasan teman-teman ini, karena risiko seperti itu sudah menjadi konsekuensi wajar, demi tegaknya konstitusi dan hukum tetap bermartabat.
Di sini, saya tercenung. Mencoba bermatematika, menganalisis, hingga mereka-reka tingkat logis tidaknya atau tepat tidaknya argumen mereka yang mengiyakan argumen yang disampaikan Yusril sebagai saksi ahli yang mendukung keputusan politik Prabowo-Hatta.
Maka pikiran saya seketika menyentuh sisi yang berkait dengan logika harga. Mengumpamakan dengan jual beli, di sana memang akan ada harga yang wajar dan pantas, ada harga yang murah, mahal, hingga terlalu mahal. Maka saya melihat harga yang dibayar Thailand untuk alasan tersebut, terasa terlalu mahal.
Sederhana saja, efek keputusan itu, berapa besar kerugian yang dialami mereka. Sementara keputusan yang diambil juga masih mengundang tanda tanya.
Masyarakat internasional tidak lupa, bagaimana kondisi Thailand di pertengahan 2014 itu. Tentara menjadi sangat dominan, terlepas mereka berdalih bahwa mereka sedang tidak melakukan kudeta. Perdana Menteri Yingluck Shinawatra mendapatkan pemecatan setelah pihak pengadilan setempat mengeluarkan keputusannya.
Bagaimana masyarakat internasional menilai pemecatan Yingluck? Tak banyak pakar hukum yang membenarkan begitu saja argumen pemecatan itu. Apalagi konsekuensi yang harus dibayar adalah ancaman perang saudara menjadi isu paling mencolok saat itu. Sebab, situasi terkini pun masih memiliki keterkaitan dengan kudeta yang pernah terjadi 10 tahun lalu, atau pada 2006 yang membuat trah Thaksin Shinawatra memudar dan seketika bisa dikatakan lenyap sama sekali.