Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Saat Mahkamah Konstitusi Minus Apresiasi

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1408669249322493568

[caption id="attachment_354523" align="aligncenter" width="600" caption="Gbr: news.yahoo.com"][/caption]

Ada hal baru kembali muncul pasca keputusan Mahkamah Konstitusi terkait sengketa Pemilihan Presiden 2014. Itu adalah tuduhan bahwa keputusan tersebut belum menyentuh "keadilan yang substantif", mengutip pernyataan Prabowo di jejaring sosial dan pernyataan resmi kubu pendukungnya. Apakah ini masalah sederhana?

Sebagai salah satu rakyat di republik berpenduduk ratusan juta ini, saya pribadi melihat apa yang diperlihatkan kubu Prabowo-Hatta, lebih sebagai sebuah keangkuhan dalam politik. Terdapat kesan yang terlalu ditonjolkan bahwa sesuatu yang sempurna hanya mereka yang mampu menyelesaikannya. Sehingga, pikiran nakal saya pun muncul, jangan-jangan karena paradigma berpikir yang egosentris secara politis itu, membuat mereka demikian percaya diri sehingga sejak penghitungan suara hanya bersedia menerima penghitungan a la kalangan sendiri.

Ini juga menjadi kelucuan lain yang seakan tak habis-habisnya ditampilkan kubu Prabowo-Hatta dari pra hingga pasca Pilpres dan bahkan pasca keputusan MK. Sementara, seperti yang disampaikan oleh Tantowi Yahya di depan pers, bahwa pihaknya menerima keputusan MK. Maka terasa kontras, di satu sisi menerima, tapi di sisi lain tidak memperlihatkan keikhlasan di depan keputusan tersebut.

Maka, menurut hemat saya, yang dibutuhkan oleh pihak kubu tersebut tidak lagi mempertontonkan kelucuan-kelucuan yang membuat rakyat tertawa ketika rakyat di sisi lain sedang membutuhkan keseriusan. Kembalikanlah pekerjaan melucu itu kepada mereka yang berprofesi sebagai pelawak.

Sangat disayangkan jika kemudian rakyat harus memberi stempel mereka sebagai kalangan yang memang tak memiliki iktikad memikirkan rakyat. Mereka lebih mengedepankan golongan dengan segala kepentingannya.

Mungkin iya, sikap-sikap tersebut takkan membawa dampak jika hal itu bukan sikap yang diumbar di depan publik. Tapi jika sudah menunjukkan semua itu secara telanjang di depan rakyat, bukankah hal-hal itu hanya akan membuat rakyat seakan diajak untuk menduduki dua kursi sekaligus?

Ya, hal itu hanya menciptakan kegamangan hingga keresahan. Terlebih lagi, mau tak mau, Pilpres 2014 telah menciptakan peta baru di tengah keseharian masyarakat negeri ini, karena dua calon presiden yang menjadi kontestan di Pilpres tahun ini. Peta baru ini, jika kemudian benar-benar terkoyak, hanya akan menciptakan perpecahan yang jelas-jelas tidak lagi sehat. Lagi-lagi, yang menjadi korban tak lain adalah rakyat, sementara mereka yang berpolitik bisa saja tertawa-tawa ongkang-ongkang kaki membicarakan ambisi demi ambisi.

Menjadi hal yang sangat tidak beretika, saya kira, jika politik dengan berbagai langkah dan sikap yang ditampilkan, hanya dijadikan layaknya saluran untuk birahi pribadi dan golongan. Setelah MK mengeluarkan keputusan yang terikat secara hukum, kenapa tidak memilih menerima saja.

Sekarang, tak terlihat iktikad mereka untuk mengapresiasi pekerjaan MK setelah keputusan mahkamah sama sekali jauh di luar yang harapan.

Padahal, andai persoalan etika ini masih menjadi hal yang tak diremehkan, akan sangat elegan jika mereka bisa menunjukkan penghargaan kepada institusi terakhir untuk mengadukan perihal sengketa terkait dengan pesta demokrasi. Paling tidak, jangan lagi menampilkan kebebalan yang seolah ingin menunjukkan bahwa merekalah yang paling benar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline