Lihat ke Halaman Asli

Awan Kelabu Calon Wisudawan

Diperbarui: 1 Februari 2016   12:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pagi itu atau lebih tepatnya siang itu, karena kebiasaan bangunku lebih siang dari para pekerja lainya dan penulis menganggap saat itu adalah pagi lebih tepatnya pukul 8.00. Jam itu penulis anggap bangun paling pagi karena kebiasaanku bangun biasanya pada pukul 11.00. Seperti biasa penulis mulai hari itu dengan berfikir apa yang harus aku lakukan pagi itu.

Dengan mata yang masih lengket karena kotoran mata yang masih belum dikucek, penulis teringat hari itu ada jadwal untuk melanjutkan mengurus pemberkasan untuk kelulusan dan jarak antara penulis dengan seremoni wisuda tinggal menghitung bulan. Terasa ganjil dalam perasaan, ketika bagi calon wisudawan lainya pemberkasan menjadi hal yang menyenangkan karena semua jerih payah selama beberapa tahun bisa terbayar dengan titel yang akan disandangnya.

Penulis berpikir berbeda, menurut penulis saat-saat itu adalah saat dimana dua perasaan saling berebut dalam kesadaranku. Disatu sisi penulis merasa seperti calon wisudawan lainya, tapi di sisi lain aku merasa sedih pada saat bersamaan. Perasaan sedih itu timbul karena aku menganggap bahwa kehidupanku sebagai seorang sarjana dipertaruhkan. Dalam benak penulis berfikir setelah mendapat gelar sebagai seorang sarjana muda apa yang harus aku lakukan, kerja apa yang akan aku pilih, dalam benaku masih belum ada.

Jujur ketika yang lain menganggap proses skripsi itu merupakan ujian terberat bagi calon mahasiswa, menurutku hal itu biasa saja, penulis menyelesaikanya tanpa kendala yang berarti. Penulis menganggap mudah tidaknya skripsi tergantung individunya saja dan ketekunan menjadi jawaban bahwa sebenarnya skripsi itu mudah, Cuma masalah waktu saja. Ujian terberat bagi seorang mahasiswa adalah ketika dia lulus akan menjadi apa? Itu sebenarnya yang harus dicari jawabanya.

Banyak mahasiswa lain termasuk banyak dari teman penulis terlihat sangat bergembira ketika keluar dari ruang dosen setelah menyelesaikan siding. Banyak diantaranya yang melampiaskanya dengan berfoto bersama dengan atribut seperti slempang bertuliskan sarjana, mahkota terbuat dari kertas karton sampai rangkaian bunga dari supporter (teman yang menunggu di depan ruang sidang) untuk diberikan kepada yang sudah menjalani sidang skripsi.

Dalam hal ini penulis bukan merasa nyinyir karena pada saat penulis sidang tidak ada sambutan meriah seperti teman penulis lainya. tapi apakah kita semua sadar bahwa selebrasi itu tak ubahnya biang gula yang dicampurkan dalam makanan, manis dilidah tapi pahit di tenggorokan. Rasa manis itu didapatkan pada awal setelah menjalani sidang dan siap menyandang gelar sarjana.

Dan rasa pahit itu didapat ketika beberapa bulan setelah kita menyandang gelar sarjana. Kenapa pasca sarjana itu penulis ibaratkan dengan rasa pahit, karena jika pada saat-saat itu kita masih belum bisa memenuhi tuntutan pribadi dan lingkungan untuk mencari kerja ya bisa dipastikan rasa pahit itu akan terasa.

Ketidakpastian calon wisudawan ini menjadi semakin nyata ketika Negara kita yang tercinta ini telah mendeklarasikan bergabung dalam masyarakat ekonomi asia (MEA) dan sudah dimulai sejak akhir desember tahun 2015 lalu. Menurut sumber yang didapat penulis, tujuan dari dibentuknya MEA ini adalah menjalin kerjasama antar Negara Asia untuk memacu pertumbuhan ekonomi.

Salah satu sistem yang diterapkan adalah semua pekerja bisa mencari pekerjaan di Negara lain dengan regulasi yang lebih mudah semisal, tidak diperlukanya paspor kerja. Kekhawatiran timbul dari benak kami sebagai calon wisudawan. Ketika saya masih menempuh kuliah sekitar semester lima, penulis bertemu dengan salah satu teman, kakak kelas yang sudah lulus.

Ketika penulis menanyakan “kerja dimana mas?” dengan tampang cuek dan sedikit lesu dia menjawab “masik nganggur, aku kemarin naruh lamaran di jobfair berulangkali gag ada yang dipanggil”. Mendengar jawaban pada saat itu yang masih belum diterapkan wacana MEA, penulis merasa merinding dan bertanya dalam hati “mau jadi apa saya kelak”. Dan apalagi di masyarakat MEA seperti saat ini, dimana semua tenaga asing yang tergabung dalam MEA bisa mencari penghidupan di Negara kita, otomatis jika kita tidak punya daya tawar lebih ya jelas kita bisa tergilas dengan tenaga kerja asing.

Setelah dicetuskanya masyarakat MEA ada statement dari menteri ketenagakerjaan, entah itu sebagai penenang bagi calon pencari kerja atau itu memang faktanya. Menurut kementrian ketenagakerjaan “dengan adanya masyarakat MEA tidak mempengarui kurangnya lapangan pekerjaan bagi pekerja lokal, karena menurut survei terbaru justru malah pada saat ini tenaga kerja asing lebih berkurang dari tahun sebelumnya”. Penulis bingung menanggapi ini apakah harus senyum atau getir. Entahlah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline