Lihat ke Halaman Asli

Hedonisme di Kalangan Remaja

Diperbarui: 2 November 2015   01:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Judul Buku: Wacana Hedonisme

Penulis: Cahyaningrum Dewojati

Penerbit: Pustaka Pelajar

Tahun Terbit: 2010

Tebal: 139 halaman

ISBN: 978-602-8764-62-9

Jika ada yang menyatakan bahwa banyak kalangan muda yang sudah tidak tertarik untuk membaca, saya rasa anggapan itu harus ditangguhkan terlebih dahulu, karena jujur dari pengalaman pribadi penulis sendiri ketika masih mengenyam pendidikan SMP banyak teman penulis, khususnya perempuan banyak meluangkan waktunya untuk diisi dengan aktifitas membaca. Setelah penulis amati ternyata buku yang dibaca tersebut adalah novel dan ada keterangan di pojok buku tersebut bertuliskan “Teenlit”. Saat itu penulis kurang memperdulikan tersebut karena jujur saat itu penulis kurang memiliki minat membaca, tidak seperti saat ini. Ternyata setelah sekian tahun penulis mulai paham bahwa novel dengan tulisan “teenlit” merupakan novel yang ditujukan pada pembaca berumur 9-17 tahun (hal: 16). Ketika awal membaca buku ini, penulis merasa kaget bahwa novel teenlit termasuk dalam bagian budaya pop yang didalamnya terselubung wacana hedonisme. Sebelum membaca lebih jauh isi dari buku ini penulis ingin membuktikan apakah benar novel teenlit berisi wacana hedonisme, penulis memutustkan untuk berhenti sejenak membaca buku ini dan mulai membaca salah satu novel teenlit yang berjudul “from Sumatra with Love” dari hasil pembacaan tersebut penulis baru “ngeh” bahwa memang isi dari novel ini sarat dengan penggambaran tokoh-tokohnya yang berlatar belakang dari kalangan atas dan berisi kebiasaan kalangan menengah atas. Penggambaran tokoh utama sebagai anak dari seorang pengusaha atau pejabat, kebiasaan nongkrong di kafe, makan di restoran mahal dan menghabiskan waktu luang di mall, yang intinya adalah mengejar kesenangan materi mendominasi isi dari novel yang penulis baca. Setelah selesai membaca novel tersebut barulah penulis membaca buku ini.

Buku ini membahas berbagai judul novel popular diantaranya: “Duo Tajir”, “Biarkan Stef Pergi”, “Santri Semeleketeh” dan serentetan novel pop lainya. Sebelum membedah wacana hedonism yang ada dalam setiap novel tersebut, buku ini menjabarkan tentang pengertian hedonisme, tujuanya agar pembaca memahami karena kata ini akan banyak digunakan untuk halaman berikutnya. Hedonisme dijabarkan dalam buku ini berawal dari pandangan pencetus filsafat hedonism yaitu Epicurus yang menyatakan bahwa “kita hidup hanya satu kali maka kejarlah nikmat semaksimal mungkin, karena kau akan mati esoknya” (hal: 16). Kata kunci lainya yang dijabarkan buku ini sebelum mengkaji wacana hedonisme dalam novel pop adalah kata pop atau popular itu sendiri, definisi populer adalah tidak bisa dilepaskan dari ideologi kapitalisme dan konsumerisme (hal: 17).

Setelah menjabarkan kata kunci penting yang banyak digunakan dalam buku ini yaitu hedonism dan populer, penulis mulai membedah wacana dalam beberapa judul novel populer. Karya novel pop seperti novel yang bergenre teenlit dan chicklit tidak lepas dari yang dari kebiasaan hedon yang dilakukan setiap tokohnya, contohnya dalam novel “Duo Tajir”. Novel yang mengangkat tema tentang percintaan remaja dengan tokoh Hendra dan Erwin yang memperebutkan cinta dari Narita. Ditengah cerita tentang kompetisi kedua remaja laki-laki memperebutkan cinta dari pujaan hati, kehidupan tokohnya yang berasal dari kalangan mengah atas ditampilkan penulisnya. Seperti kelakuan Erwin yang menjadi little bos di sekolahnya, karena di merupakan anak dari latar belakang mampu dan sering mentraktir teman-temanya (hal: 26).

Kritik

Menurut penulis, buku ini terlalu menyudutkan filsafat hedonism dan selalu mengidentikan hedonisme dengan kenikmatan badaniah yang sifatnya negative seperti perilaku konsumtif dan pemborosan. Memang tidak penulis pungkiri bahwa kenikmatan materi atau badaniah menjadi prioritas aliran filsafat ini. Aliran filsafat ini sebenarnya dicetuskan oleh salah satu murid Sokrates dan juga guru dari Epikuros, yaitu Aristipos (Bertens, 2011 : 249). Suatu ketika Sokrates memberikan pertanyaan kepada semua muridnya “Apa tujuan akhir dari kehidupan manusia ?” , beragam jawaban diberikan murid-murid sokrates, tapi tidak mampu memuaskan sang guru, karena jawaban yang diberikan kurang jelas, kecuali satu jawaban dari Aristipos, saat itu Aristipos menjawab bahwa tujuan akhir dari manusia adalah kesenangan (Bertens, 2011 :250). Aliran filsafat ini kemudian dikembangkan oleh Epikuros dan menjadi salah satu aliran filsafat yang cukup banyak memiliki pengikut pada saat itu. Menurut Epikuros kenikmatan didasarkan pada keinginan dan tidak semua kesenangan yang dianggap baik harus dipenuhi. Keinginan menurut Epikuros di bagi menjadi tiga yaitu:

  1. Keinginan alamiah yang perlu, seperti makan dan minum.
  2. Keinginan yang tidak perlu, seperti makan dan minuman yang enak
  3. Keinginan yang sia-sia, seperti kebutuhan untuk mengejar kekayaan materi secara berlebihan (Bertens, 2011 :251)
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline