Lihat ke Halaman Asli

Hamemetri Pusaka – Hambangun Kuncaraning Bangsa: Keris Sebagai Warisan Budaya Dunia

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14147307371527334360

[caption id="attachment_350939" align="aligncenter" width="576" caption="Foto Koleksi Pribadi"][/caption]

Dalam kata “hamemetri” – terkandung makna DASA UPAYA TANTRA yaitu: “Sebuah upaya: mengenali, menggali, merekonstruksi, menganalisis, mengartikulasikan, mengkritik, mengapresiasi, mengkonstruksikan, mengemas, dan memediakan kejeniusan lokal agar mampu mengorganisir diri untuk menemukan kembali elan vitalnya. Sedang dalam kata “pusaka” mengandung makna milik pribadi atau milik bersama yang berupa kearifan lokal -yang hendak dijunjung tinggi bersama sebagai acuan moral bertindak.

Dalam konteks ke-Indonesiaan, ada kejeniusan lokal yang telah diakui sebagai warisan budaya dunia, yakni: wayang, keris, batik, noken, dan tari saman. Kelima hal tersebut merupakan seni “fraktal” yang sangat kompleks dan merupakan simbolisasi kearifan hidup yang berlaku universal, sehingga oleh UNESCO diakui sebagai warisan budaya dunia, dan nyata telah membuahkan keluhurang Bangsa Indonesia sebagai sang penemu sekaligus sang pemelihara warisan tradisi tersebut secara turun-menurun.

Keris, merupakan warisan tradisi yang mempunyai sejarah sangat panjang., baik secara romantika, dialektika, maupun dinamika. Dalam masyarakat kontemporer sekarang ini, keris menjadi barang yang bisa bernilai mahal. Ada yang memberi nilai mahal karena usianya yang sangat tua, atau karena keindahan pamornya, bahkan ada yang berani membayar ratusan milyar kalau keris tersebut bisa berdiri dengan ujungnya di atas meja kaca, ada juga yang tidak perlu membayar sepeserpun, keris yang ampuh bisa datang sendiri diantar oleh seorang yang kadang menjadi gaib, setelah menyerajkan keris tersebut.

Dalam tatanan romantika, keris merupakan senjata untuk merebut kekuasaan, yang, tentu saja, ada nyawa yang harus dikorbankan. Mitos keris Empu Gandring misalnya, adalah sebuah contoh sejarah keris yang hingga kini masih diyakini kebenarannya. Sedangkan pada masa pertempuran antara Arya Penangsang dan Joko Tingkir, keris lebih menjelma sebagai untusr dialektika sejarah perebutan tahta. Untuk mengalahkan Arya Penangsang yang saat perang menggunakan kuda laki-laki Gagak Rimang, Joko Tingkir disarankan untuk naik kuda betina, agar supaya Gagak Rimang birahi dan akhirnya sulit dikendalikan. Saat perut Arya Penangsang bisa dihunjam senjata oleh Joko Tingkir, mbrodhollah, keluarlah ususnya. Untuk meneruskan peperangan hingga titik darah penghabisan, ususnya di-sampirke pada kerisnya. Hingga kini peristiwa itu dimemetri pada saat temu pengantin, dimana sang pengantin pria menggunakan keris yang dikalungi roncean melati sebagai simbol ususnya Arya Penangsang. Apa hubungan kosmis antara kedua peristiwa tersebut, silakan hadirin mencari kesimpulannya sendiri.

Pada tatanan dialektika, keris merupakan sebuah perlambang pusaka yang keramat, karena menyimpan berbagai rahasia yang belum terkuak. Dalam cerita Ajisaka misalnya, ia menitipkan keris kepada Dora dengan pesan siapapun yang mengambilnya janganlah dikasihkan, karena Ajisaka sendiri yang kelak akan mengambilnya. Tetapi, ditengah waktu yang kurang jelas maknanya, Ajisaka mengutus Sembada untuk meminta keris tersebut. Akan tetapi, Dora bersikukuh tidak mau memberikan keris tersebut kepada Sembada, karena pesan Ajisaka memang melarangnya memberikan kepada siapapun. Dora dan Sembada akhirnya berlaga, dan karena keduanya sama-sama sakti, maka keduanya mati sampyuh. Dora Sembada sendiri merupakan kesatuan kata yang maknanya, “kita boleh berbohong untuk suatu kebaikan”.

Untuk memperingati peristiwa tersebut, kemudian Ajisaka menciptakan huruf yang nantinya dikenal sebagai huruf Jawa:

ha na ca ra ka = ana utusan = ada utusan

da ta sa wa la = padha sulaya = keduanya berantem

pa dha ja ya nya = padha sektine = sama-sama sakti

ma ga ba tha nga = padha dadi bathang = sama-sama menjadi bangkai = sama-sama mati.

Dalam konteks dialektika yang lain, huruf Jawa tersebut diberi tafsir lebih rasional:

ha na ca ra ka = ana cipta, rasa, karsa = ada cipta, rasa, karsa

da ta sa wa la = datan sulaya = jangan berantem

pa dha ja ya nya = padha menange = sama-sama luhur

ma ga ba tha nga = sama-sama menempatkan orang lain di ketinggian, di tempat yang luhur.

Lalu, pada tataran dinamika, cerita keris dihubungkan dengan huruf Jawa yang diciptakan oleh Ajisaka. Apa hubungan huruf Jawa dengan kisah keris-nya Ajisaka yang membuat kedua pembantunya mati sampyuh?

Pada salah satu versi cerita Ajisaka internasional, diceritakan bahwa Ajisaka berasal dari India. Ayahnya mempunyai perguruan silat dengan ribuan murid. Maka kepada Ajisakapun oleh ayahnya diajarkan silat, namun ala kadarnya saja. Ayahnya lebih menggembleng Ajisaka tentang filsafat 4 (empat) anasir yaitu: bumi, angin, api, dan air. Bumi adalah simbol kekuatan, angin simbol kecepatan, api simbol enerji, dan air simbol intelektualitas. Keris, merupakan gabungan dari empat anasir yang disatukan melalui proses tapa brata atau berpuasa. Keris teriri dari campuran logam yang merupakan bahan asal dari bumi, dipanaskan dengan api yang diubub atau dinyalakan dengan meniupkan angin, lalu setiap tahap proses kenthengan atau penempaan selesai, selalu dicelupkan dalam air, agar menghasilkan kekerasan logam yang kuat. Disini lahirlah filosofi sedulur papat – lima pancer. Saudara empat itulah anasir bumi, angin, api, dan air. Sedang pancernya, adalah sang empu yang mengubah empat anasir tersebut menjadi sebilah keris. Keris yang selain mempunyai daya magis, juga memiliki pamor yang indah. Ada pamor kulit semangka, wos wutah atau beras tumpah, blarak sineret, dan sebagainya. Keris inilah yang kelak kemudian hari digunakan Ajisaka untuk membunuh raksasa yang bernama Dewata Cengkar yang dahulu membunuh ayahnya.

Pada perkembangan selanjutnya, keris menjadi sebuah pusaka yang sarat dan penuh kelindan yang jalin-menjalin antara mitos dan keindahan yang rasional. Masih diyakini, bahwa keris haruslah dijamasi setiap malam 1 Suro, bahkan keris dijadikan pusaka bagi seseorang agar ia mempunyai wibawa sebagai pemimpin maupun dicari kecocokkannya dengan watak dan sifat seseorang. Keris Kalanadhah dengan 11 luk misalnya, akan membuat si pemegang selalu berhawa panas. Demikian keris kini masih menyimpan misteri tetapi juga seni tempa yang menjanjikan nilai ekonomi yang tinggi, meskipun itu dibuat pada jaman sekarang.

Karena telah diakui sebagai warisan budaya dunia, keris bisa menjadi industri kreatif yang selain bernilai ekonomi tinggi (karena banyak tokoh yang memesan keris pada empu jaman sekarang dengan nilai yang cukup tinggi), juga masih menghadirkan mitos pada masyarakat moderen. Oleh karena itu, masih sangat perlu dilakukan sebuah upaya: mengenali, menggali, merekonstruksi, menganalisis, mengartikulasikan, mengkritik, mengapresiasi, mengkonstruksikan, mengemas, dan memediakan keris sebagai karya kejeniusan lokal para empu, agar keris menemukan kembali elan vitalnya” ─ dalam rangka hamemetri pusaka, hambangun kuncaraning bangsa.

Jika cita-cita berbangsa, bangsa Indonesia seperti termaktub pada alinea 2 dan 3 adalah: “agar supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, yaitu: yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”, maka keterhubungan antara keris dengan visi bangsa Indonesia amatlah bersambungan. Sebab, seperti yang dicita-cita Bung Karno, bahwa pada suatu hari Indonesia akan menjadi Sekar Kedaton Taman Sari Dunia, maka pada wilayah wayang, keris, batik, noken, dan tari saman, cita-cita itu sudah terwujudkan sebagian.

Keris juga menjadi simbol manunggaling kawula lan Gusti – Gusti lan kawula, curiga manjing wrangka – wrangka manjing curiga. Mestinya, dengan telah diakuinya keris sebagai warisan budaya dunia, kita sebagai bangsa yang memilikinya perlu melakukan pemahaman secara lebih luas lagi sebagai filosofi yang berguna bagi berkehidupan kebangsaan. Untuk memahami makna keris sebagai buah kebudayaan Nusantara, diperlukan titik temu Timur dan Barat. Yakni makna dan hakikat pembangunan layaknya krida-hangga seperti kekaryaan Bandung Bandawasa dengan 1000 patung untuk Pradnyaparamitha, juga 1000 kesatria yang terkurung dalam sangkar di Candhi Borobudur. Maknanya ialah agar kita jangan membatu seperti 1000 patung Rarajonggrang, menjadi obyek penderita, atau terkurung dalam kegelapan dan kesempitan egoisme seperti 1000 ksatria di Borobudur.

Inilah saatnya kita harus memulai Caranya ialah dengan laku Hanyokrokusumo, mengembangkan kualitas bunga atas bimbingan cayaha bulan menuju ke wirya, arta, dan wasis.

Salah sendiri orang yang tidak memerlukan

Sepatutnya memiliki patokan hidup

Hidup dengan tiga perkara

Wirya, Artha, Wasis

Kalau tidak memiliki

Ketiga perkara di atas

Habislah kita sebagai manusia

Bagai daun jati yang kering

Menjadi miskin meminta-minta kemana-mana

SINOM

Bonggan kang tan merlokena

Mungguh ugering ngaurip

Uripe lan tri-prakara

Wirya, Arta, tri Winasis

Kalamun kongsi sepi

Saka wilangan tetelu

Telas tilasing janma

Aji godhong jati aking

Temah papa papariman ngulandara

[Serat Wedhatama Mangkunegara IV]

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang agraris dan komunitarian, dan sebagai bangsa, adalah bangsa bahari.Pada masyarakat agraris diperlukan kemampuan vegetativ [sikap mistis]. Masa ini telah lewat dan kita disergap oleh masyarakat industri [ontologis] sekaligus masyarakat konsumptif [fungsionil]. Sementara, sebagai masyarakat industri, kita belum pada kemampuan memproduksi untuk sampai pada tahap berdikari di bidang ekonomi. Kita sudah keburu dikepung oleh gaya hidup konsumtif yang sangat tidak fungsionil yang melontarkan kita pada peran yang salah. Alam pikiran cenderung menjadi gado-gado sinkretisme. Muncul pula relativisme norma-norma kehidupan dimana para pimpinan tak berakar di dalam dasar budaya mereka, yaitu semakin teknokratis dan rasionalistis atau kebarat-baratan secara lahiriah.Akibatnya budaya menjadi pasif, alam pikiran menjadi justivikatif dan tidak investigatif.Maka sangat relevan sekali perlunya mengkaji ulang pesan pujangga besar Ronggowarsito agar supaya aktif konstruktif kita harus mulai nawu segara. Kebudayaan kita terlampau berhenti di daratan, padahal kita ini adalah bangsa bahari.

Momentum kekinian perlu dipahami melalui wawasan kosmologis makro dan mikro sebagai kelanjutan dari kelapangan dada [Jokolodhang] untuk meningkatkan kualitas manusia. Momentum tinggal landas adalah momentum ke jiwa bahari, jiwa kelautan, pelayaran di samudera ayat-ayat Tuhan.Akhirnya, kebudayaan mestilah dikembalikan kepada azas azali-nya yaitu pada: kedaulatan akal pikiran, kedaulatan alam semesta, dan kedaulatan Illahi.

Keris menyimpan sejuta rahasia. Rahasia itu masih disimpan oleh para Empu pembuatnya.

Mau tahu berbagai rahasia itu?

Hadirlah pada acara Yogya Semesta, 11 November 2014, di Bangsal Kepatihan Ngayogyakarta Hadiningrat, pukul 19.00-22.00 WIB. Terbuka untuk umum. Disediakan makan malam mulai jam 18.30.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline