Lihat ke Halaman Asli

Cerpen Surat Cinta Tak Bertuan

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Surat Cinta Tak Bertuan

“Teng… teng… teng...!” Tepat pukul 12 malam. Inilah waktu untuk beraksi. Kedua tangan telah kuletakkan di atas kertas putih bersih. Dengan lincah, mulai melenggak-lenggokan mengikuti irama pena yang dituntun oleh tongkat suara hati. Merangkai huruf demi huruf menjadi sebuah surat cinta,cerpen, esai, atau barangkali hanya sebuah tulisan yang tak ketemu judulnya. Itulah pekerjaanku setiap malam. Toh sekalipun penilaiaan orang lain atas hal ini hanya dipandang sebelah mata; tak ada gunanya sama sekali. Namun aku benar-benar menemukan kata “puas dan puas”.

Sebetulnya, itu masih belum sepenuhnya bisa dikategorikan puas, tanpa disertai reaksi yang kedua. Yaitu membungkus semua surat atau tulisan yang kuperoleh semalam, lantas kulepas ke alam liar. Melewati pelantara sebuah prangko, aku kirimkan ke alamat serampangan, atau melalui sebuah kotak yang telah kuhiasi, aku lemparkan begitu saja ke alur sungai.

“Ya… hanya itu yang akan buat aku sangat puas!” bisik sanubariku.

“Kring… kring… kring...!” Bel rumah berbunyi. Kusambut dengan langkah cepat. Kuhamapiri dia. Ya, tunggu! Siapa? Sembari tetap melangkah.

“Brengsek… si misterius itu lagi? Siapa dia sebetulnya?”. Tepat daun pintu aku buka, tak ada seorang pun yang bisa aku dapati. Bahkan tak ada bekas alas kakinya.

Yang kudapati hanya sebuah surat yang terkapar di atas tanah. Namun apa sama dengan surat yang telah kuterima sebelumnya? Aku tak tahu.

“Halo sayang... Gimana kabarnya pagi ini?” Tanya sebuah surat yang ajaib itu.”

“Alah kamu lagi. kamu lagi…! Siapa sih yang telah mengirim kamu ke sini?”

“Busyet!” Kertas itu tak menjawab pertanyaanku. Dia hanya bisa berkata apa yang telah di tulis di atas punggungnya.

“Aneh… di setiap kertas yang kini sudah kali ketiga, alamatnya sama. Terukir alamat; Jalan Kembang Hijau No. 93. Aku sangat bahagia. Aku merasa, sepertinya pemilik surat ini begitu tulus menulis surat ini hanya untukku. Ini, bagiku, adalah sebuah misteri yang harus aku pecahkan.” gumam hatiku, tanpa menghiraukan ocehan kertas itu yang terus mengoceh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline