Lihat ke Halaman Asli

Cerpen

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sepucuk Pinta Ani

Saat matahari telah di ujung waktu meninggalkan semburat kuning emas diufuk barat. Saat kerajaan Kinajangki runtuh dibumi jawa. Ada dua saudara kandung, keturunan darah biru yang amat diacungi jempol ilmu kanuragannya. Tak pernah terjumpai kata kalah dikala mereka bertarung melawan petarung manapun. Disaat mereka berdua tumbuh dewasa. Tak ayal, rasa yang tak bisa ditepis. Rasa suka pada putri bungsu pamanya. Dewi Ayu. Nan jelita. Hingga saat petang hari hanya tabaran bintang dan bulan sabagai saksi. Di atas sungai mereka berdua saling menunjukkan keperkasaannya tuk menjadi kesatria yang pantas bersanding dengan putri pamannya. Dentingan suara pedang. lontaran mantera saling berkomat-kamit dari mulut mereka berdua. Silih berganti darah mereka berdua mewarnai kebeningan sungai. Dan hingga...

“Ting...ting...ting...”

“Dengan terpaksa bapak hentikan dulu ceritanya, kita lanjutin dipertemuan akan datang saja...!”

“Yah...!” suara kecewa anak-anak saat bunyi bel pulang memutus paksa cerita.

Takjub. Bangga. Itulah sesuatu yang tak dipungkiri bagi anak SD Guraran, mempunyai guru segudang cerita. Guru yang bisa dipastikan dikala cerita pasti menghujani anak yang duduk hanya berjarak  10 meter didepanya. Kadang wajah atau bahkan mulut pun akan basah pula, disaat penghipnotisan dari mantera cerita itu membuat mulut menganga. Apalagi cerita tentang peperangan ia maksimalkan dengan gaya-gayanya juga. Cerita takkan usai bila bel pulang belum berbunyi. Toh sekalipun dari awal pelajaran. Dan kita akan bisa dipastikan akan menjumpai mulut pak guru bak kumpulan salju menguntuk di sudut-sudut mulutnya. Dan senyum yang khas di balik giginya yang tinggal lima. Namun dibalik itu tersimpanlah cerita amat mempesona.

***

Tak seorang pun akan terlepas dari rizki yang ditaburkan oleh Allah di setiap saat atau di setiap tempat manapun. Bahkan, seekor binatang yang tak kasat mata pun tak ditemukan cerita kelaparan hingga merengut kematian. Lain orang, lain pula rizkinya. Kali pertama ada seorang yang bekerja hanya pemulung sampah dikolong jembatan, keesokanya sudah mempunyai perusahaan sampah se-kabupaten. Ada pula orang sudah mnjadi saudagar ternama mempunyai perusahaan sepatu semisal, keesoka harinya berputar 180 derajat  bak orang pemulung sampah. Jadi, di bumi ini hanya Allah yang menjadi sutradaranya. Kita sebagai manusia selayaknya selalu bersyukur dengan apa yang kita peroleh di saat ini berupa kesehatan, pikiran dan kekuatan tuk bisa mengaji  disetiap usai shalat maghrib di mushalla ini.

“Fahimtunna?”

“Fahimna” Suara menggema kita.

Itulah siraman nurani dari Ustadzah Pipit dikala lima menit menjelang usai ngaji al-Qur’an bersama. Ia tecipta sangatlah anggun dibalut kerudung coklat setianya. Ilmu agamanya yang amat mumpuni. Keihklasan, ketelatenan saat mengajari kami alif  ba ta. Jikalau nanti aku tumbuh dewasa, aku ingin menorehkan sejarahku seperti Ustdzah Pipit. Selalu baik sama tetangga dan peduli tuk mengajari anak-anak di desa Guraran ini.

Hanya ayunansepeda mini reot menemani perjalanku pulang menempuh jarak satu kiloan. Melewati pohon jati besar menjulang. Berjajaran. Sinar bulan tak kuasa menembus deretan jati itu yang berdiri seperti tentara yang kokoh. Pekat. Tak ada angin tak ada hujan tapi aku jumpai daun jati berukuran besar silih berganti saling berjatuhan. Salah satu daun jati menerpa mukaku menghalangi penglihatanku. Dengan sepontan aku sambar daun itu. Aku tercekat saat mendapati ada torehan tulisan tinta hitam di atas kulit daun jati. Galilah lebih dalam hingga mencapai setungkak kakimu. Tak kupedulikan sedikit pun langsung aku lemparkan setelah membacanya dan melanjutkan perjalan pulang kembali dengan rasa merinding. Sungguh ini tak seperti biasanya.

***

Dipagi hari suara cicuit burung kecilsaling bersahutan. Bau tanah sehabis hujan semalam sangatlah memanjakan hidung bagi penduduk desa Guraran. Pohon jati dengan penuh khidmat dalam kediamannya. Matahari nampak malu masih tertutupi mendung. Hari minggu bukanlah hari untuk aku santai memanjakan badanku hanya di atas ranjang tidur.

“Hen, udah siap ta?”

“Udah, kak !” Balas adekku yang berumur 11 tahun hanya setahun lebih tua aku.

“Ibu, kita berangkat dulu”

“Hati-hati nak!” Ucap pendek ibu.

Hanya dengan alat jaringan untuk memisahkan lumpur dan keranjang kayu. Kita berangkat menuju sungai Denting. Airnya tenang walaupun hanya berjarak 2 km dari pantai timur. Menurut warga setempat memang menjadi kepercayaan sendiri di waktu yang tertentu suara dentingan pedang amat terdengar jelas. Makanya sungai itu di katakan sungai denting. Disinilah kebanyakan warga Guraran menjadikan pencaharian untuk makan setiap harinya. Ada kalanya dengan dengan mencari kerang. Termasuk aku juga. Memancing. Menjual minuman keliling.

“Gimana siap meloncat ta?”

“Ayo, satu, dua, tiga”

“Byur” Dengan ketinggian 5 meter dari telengsengan menyibak air paksa.

“Adek cari didekat batu besar sana, Ani cari di sini ”

“Okey siap Bos Ani...!”

Walaupun dengan baju yang berbalut lumpur disetiap harinya. Dan kadang kala hanya seperempat ember saja yang kita dapatkan. Namun rasa bangga bisa membantu kedua orang tua dan rasa kepuasan tersendiri saat memperoleh kerang. Kecil bentuknya. Ada garis yang menjulang mulai dari ujung kepala dan semakin besar hingga bagian belakangnya. Inilah sesuatu yang halal bagi kita, toh sekalipun hanya sedikit.

“Dek, Ani menemukan apa ni? Cepetan kesini!”

“Kenapa mbak?”

“Ani menemukan banyak kerang yang menganga, dan di dalamnya ada kayak kelereng putih bersih dek.”

“kayaknya sih mbak, bentuknya gak jauh berbeda dengan mutiara lombok Nusa Tenggara Barat, warnanya putih agak kehitam-hitaman. Mengkilat. Adek masih ingat betul mbak waktu dikelas, saat ibu Sa’diyah menerangkan kekayaan tersendiri di laut Indonesia terutama di NTB.”

“Ya udah biarin dah, apa ini benar mutiara atau tidak, yang penting kita cari aja” Ujarku singkat tak peduli.

“Kamu kembali lagi dah ke tempat semula, Dek!”

“Siap jalankan, Bos Ani!”

***

Desir angin pembicaran pun telah melocat-loncat dari mulut-kemulut warga desa Guraran  tentang keluarga kita yang menemukan mutiara di sungai Denting. Tak ayal mereka pun ikut-ikutan mencari kerang disungai juga. Mulai dari orang pekerja tetap dipabrik. Pertokoan. Pemancing. Ojek. Dan lain sebagainya. Semuanya saling berduyun-duyun terjun ke sungai Denting tuk mencari kerang. Sedari pagi hingga sore tak pernah dijumpai kesepian disungai Denting.

Semoga aja ayah bisa tersenyum melihat Ani mempunyai sepeda baru. Adek selalu bahagia saat main kapal baru remotnya. Dan ibu tak lagi berjualan keliling, sekarang udah mempunyai toko sendiri di dekat rumah. Ayah Ani amat bangga jadi anakmu. Titahmu tak akan Ani lupakan. Jangan kamu tinggalkan pekerjaan ayah dan jadilah orang yang besar dari perkara kecil, nak.  Pesan ayah tiga hari sebelum ia meninggal.

Rabu-26-04-1435

Cerpen: Soebhans Raiders

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline