Lihat ke Halaman Asli

Rahasia Ilahi

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Kadang-kadang Cinta dan Kasih Tuhan

tidak selalu sesuai dengan yang kita harapkan".



Saya baru menyadari ungkapan ini ketika menyaksikan seekor lalat terperangkap jaring laba-laba, seekor lalat pengganggu yang sebelumnya mengaduk sedemikian rupa segala kesabaran yang saya miliki. Anda bisa bayangkan, saya sedang sibuk-sibuknya berkonsentrasi menulis didepan laptop, mengejar deadline yang tersisa hanya dalam hitungan menit, tapi dasar si lalat yang hobinya lalu-lalang kesana kemari, hinggap semaunya tanpa peduli etika dan sopan santun. Mau ditepuk, si lalat terlalu lincah. Mau disepak, Eh...lalatnya terlampau kecil. Duh...puasa jadi makruh ni...



Tapi, betul juga kata pepatah: sepandai-pandai tupai meloncat, pasti ada saat ketika ia terjatuh. Demikian juga dengan si lalat yang telah mempermaikan sedemikian rupa emosi saya, ia terperangkap pada sekumpulan jaring halus yang sering-sering luput dari perhatian saya ketika sedang bersih-bersih kamar tidur, sekumpulan perangkap maut yang sudah cukup lama akur bertetangga dengan lampu kamar saya.



Awalnya saya sontak kegirangan, tertawa terbahak-bahak, bahkan loncat-loncat sambil sumpah serapa pada si lalat yang berontak sedemikian rupa. Tapi, kala menyaksikan si lalat yang bergeliat dipenghujung penghabisan, saya jadi terdiam, sementara pikiran saya berkecamuk sedemikian rupa, bahkan saya sampai hilang akal, tak tahu harus berbuat apa. Ketika si lalat tak lagi bergerak, saya baru sadar, semuanya sudah terlambat.



Demi menghibur hati dan kelemahan saya yang begitu mencolok, peristiwa naas yang sempat membuat beku insting kemanusiaan itu, saya telikung dengan semenah-menah dan berujung pada pengandaian yang begitu konyol: andaikan saya adalah lalat yang tertangkap jaring laba-laba, barangkali saya akan menghibah dengan seganap daya yang saya miliki: Betapa kejamnya hidup ini...!, Betapa malangnya nasib yang menimpa saya...!. O...betapa kejam kau, yang menciptakan laba-laba pemangsa...!



Belum habis emosi itu berkecamuk, ketika melihat si laba-laba dengan tangkapan besarnya, saya tiba-tiba berfikir dengan cara yang lain: bagaimana kalau saya yang jadi laba-laba: betapa beruntungnya saya, baru saja tebar jaring yang luasnya tak seberapa, lansung dapat tangkapan besar. Barangkali anda tahu nyanyian apa yang pantas diteriakkan untuk kemenangan besar macam ini?. Tapi, maaf cerita tengtang lalat dan laba-laba cukup sampai disini. Saya bukan lalat dan bukan pula laba-laba.



Sandaran Hati

Sebelum bertemu dengan peristiwa nyeleneh diatas. Saya cukup sering bertengkar dengan alam rasionalitas yang bersemayam serupa sarang laba-laba dikepala saya, pokok perkaranya kurang lebih seperti ini: mengapa mesti bersandar pada sesuatu yang tak terlihat (abstrak), sedangkan saya hidup dalam dunia yang serba rill dan nyata adanya. Bukankah bila menginginkan penghidupan yang lebih baik, maka solusi yang paling cerdas atas keinginan semacam itu adalah kerja keras. Bila mendambakan penghidupan yang lebih tentram maka banyak-banyaklah tersenyum, berkawan, dan berbuat baik pada setiap orang—macam reseb baku, turun-temurun, dan menjadi bahan pelajaran ummat manusia sejak dari masa lampau.



Tapi pada kenyataannya, terkadang orang yang kerja keras sampai tak kenal waktu dan lupa pada batas-batas fisik yang dimiliki, justru memiliki penghidupan yang tidak lebih baik dari kehidupan sebelumnya, sebelum ia menjadi orang yang sukses (dalam tanda kutip). Bukankah lumrah dijumpai dalam keseharian, misalnya: si ini atau si itu yang teramat kaya, akan tetapi senyum telah raib dari pipinya. Si ini atau si itu memiliki pengalaman hidup yang menumpuk bahkan sampai bergudang-gudang, tapi air mata tak lagi sejuk kala memandang hidup. Jadinya korupsi merebak dimana-mana, tipu-menipu ramai muncul di Tv dan koran-koran.



Terkadang pula ada orang yang wajahnya tampak selalu dihiasi oleh senyum, ramah terhadap semua orang. Nyatanya, sesuatu yang amat perih menggores begitu dalam pada kepribadiannya, ibarat luka menganga yang tak pernah tersembuhkan secara utuh. Adakah karena sesuatu yang abstrak itu menjadi sering terlupakan, sebab ia hadir secara tidak nyata dalam kehidupan manusia, dengan begitu dianggap sebagai sebuah kewjaran: kehadirannya menjadi sesuatu yang jarang disadari dan bahkan sama sekali tidak pernah disadari, kecuali hanya oleh segelintir orang tertentu.



Disepakati atau tidak, lika-liku hidup boleh jadi lebih mengerikan dari pada bencana terdahsyat manapun semisal: Tsunami, gunung meletus, gempa bumi, perang, kerusuhan, dll. Tapi siapa dia?, dengan kejernihan hati dan pikiran sanggup berkata bahwa: Badai Pasti Berlalu. Entah ia jenis cobaan, teguran, musibah, ataukah malapetaka.



Perhatikanlah sebelum badai itu muncul!. Orang-orang pasti masih lengkap tangan dan kakinya, masih terang dan menyala-nyala matanya, daun-daun telinga kerap berdengung kala lalat menyambar, batang-batang hidung pun tegak seperti sedia kala, gigi-gigi tersusun rapi pada gusinya, dan bahu-bahu tegar lanksana batu karang

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline