Lihat ke Halaman Asli

Sepenggal Kisah dari Pelosok Negeri

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Soedar Po Singki

Bagi sebagian kalangan masyarakat, terutama kaum muda, motor merupakan salah satu topik yang tak ada matinya untuk di obrolkan. Bukan hanya karena fungsi mobilitas yang ia miliki, akan tetapi motor ternyata mampu menjawab manifestasi jiwa muda yang gandrung terhadap perubahan serta jiwa berpetualang. Terlebih lagi, perkempangan sepeda motor dalam negeri cukup Up to date, tidak hanya soal kebaruan teknologinya, tapi juga soal kebaruan desain yang boleh dikata selalu beriringan dengan perkembangan masyarakat yang begitu dinamis.

Awal tahun 90-an, sejauh ingatan penulis. Daya tarik motor tidak hanya merambah dikalangan masyarakat metropolis (urban)saja, akan tetapi dengan cepat menyebar hingga kepelosok, tidak tanggung-tanggung, masyarakat rural yang tinggal dipelosok dan tak mengenal aspal sekalipun, ikut pula dalam perbincangan soal sepeda motor. Kesan eksklusif, mewah, dan penuh nuansa kebaruan menjadi daya tarik tersendiri.

Kemudian, dari awal tahun 90-an hingga tahun 1995, ditempat kelahiran saya (Desa Siambo, Kec. Anggeraja, Kab Enrekang, Sulsel). Saya masih ingat betul; Jumlah kepala keluarga (KK) yang memiliki sepeda motor, baru ada dua KK saat itu. Satu KK memiliki Honda GL-100 dan yang satunya lagi Motor gunung 2 Tag jenis Trail. Si-pemilik GL-100 adalah saudagar yang cukup sukses, sedangkan yang memiliki Trail adalah seorang bujang yang sering bepergian dan tak pernah menetap ditempat manapun yang ia kunjungi dalam waktu yang cukup lama. Jadi persisnya, nyaris hanya ada satu sepeda motor kala itu.

Masih di tahun yang sama, berselang beberapa bulan setelah jalan aspal yang menghubungkan kota Kabupaten dan desa tempat tinggal saya yang begitu terpencil mulai dirintis. Masyarakat setempat mulai berbondong-bondong membeli sepeda motor. Ada dua jenis sepeda motor yang begitu digandrungi saat itu yaitu; GL-100 produksi Honda dan RX-King Produksi Yamaha. Dua tipe ini barangkali banyak digandrungi karena cukup sesuai dengan topografi desa kelahiran saya yang syarat dengan nuansa pegunungan. Namun, seiring waktu berlalu, GL-100 perlahan tersingkir, barangkali (kalah garang) oleh RX-King.

Tak seberapa lama setelah runtuhnya ORBA dan digantikan oleh Orde Reformasi yang disertai oleh krisis moneter melanda negara. Anehnya, ditengah kondisi keuangan negara yang betul-betul terpuruk, harga komoditi pertanian saat itu justru melonjak drastis; Coklat mencapai Rp 50.000/kg, Cengkeh menembus angka 200.000/kg, bawang merah 20.000/kg, lonjakan harga tersebut hampir merata terhadap seluruh komoditas pertanian yang ditanam oleh petani-petani di kampung saya waktu itu.

Al-hasil, karena pendapatan bertambah, masyarakat pun berlomba-lomba membeli barang mewah seperti TV lengkap dengan antena parabolanya, kulkas, Tape lengkap dengan sound system-nya, dan tidak lupa sepeda motor sebagai barang yang tergolong barang paling mewah saat itu.

Hanya dalam hitungan tak lebih dari satu tahun, varian sepeda motor semakin beragam saya jumpai didesa kelahiran saya. Kala itu saya duduk dibangku kelas 2 SMP, dan seingat saya pula, hanya dalam kurun waktu yang teramat singkat, persis hanya satu tahun. Keadaan semula: Hanya ada dua sepeda motor, kondisi ini langsung berbalik 180°, Jumlah Kepala Keluarga yang tidak memiliki sepeda motor tinggal dua KK, yaitu ayah saya dan seorang Kepala Keluarga tetangga terdekat, terpisah kira-kira tiga rumah dari rumah orang tua saya.

Ayah saya tidak mau beli motor karena alasan belum bisa menyetir motor. Belakangan baru saya sadari, ternyata alasan itu adalah semacam alasan untuk menutupi sesuatu yang kira-kira kurang lebih seperti ini: Ayah saya tak mau beli motor karena takut jatuh dari motor!.

Tapi karena terdesak oleh bujukan anak-anaknya (saya dan seorang lagi saudara laki-laki saya) yang tak kenal ampun. Maka akhir tahun 1998 menuju 1999. Ayah saya membeli motor bebek bekas (Astrea Prima), tanpa sepengetahuan saya dan saudara laki-laki saya tentunya. Seraya pun sering-sering berucap untuk menghibur kekecewaan dua anak lelakinya: ”Beli yang bekas buat belajar...! Nanti kalau sudah lancar baru beli yang bagus dan baru”.

Kami anak-anaknya yang secara langsung berinteraksi dengan berbagai tipologi pengendara motor sering-sering kerepotan. Kalau jalan ramai-ramai selalu saja berada diposisi yang paling belakang, kalau di tanjakan pasti tertinggal, apatah lagi dijalan yang datar dan lurus. Jadinya, setahun lebih saya lewati dengan peran saling intrik-intrikan dangan ayah saya.

Tapi, hal yang sangat terkesan bagi saya terkait soal prinsip ayah saya adalah ternyata ia betul-betul membuktikan kata-katanya. Berselang setahun kemudian tepatnya awal tahun 2000, di kolom rumah kamiyang berupa Rumah Panggung, yang biasanya hanya terparkir Astrea Prima dengan kesan elegan kehitamannya, kini terparkir F1Z-R yang meriah dengan corak nuansa kemerahan, menutupi nuansa butut yang cukup lama menghiasi kolom rumah kami.

Bagi saya, F1Z-R dengan kopling tangan semi-otomatis ini adalah perwujudan paling ideal dari segala varian motor yang saya kenal saat itu. Ia tampil simpel tapi kaya stylis, tidak maco tapi garang dijalan, ramping tapi body tetap kokoh. Terlebih lagi, sayalah orang pertama yang menunggangi F1Z-R dikampung saya kala itu. Pilihan saya tentu yang berwarna merah yang sekaligus sebagai warning untuk orang lain dikampung yang hendak membeli motor dengan tipe yang sama, maka mereka harus rela memilih warna lain, tak boleh mengikuti warna yang sudah saya pilih.

Streriotip sebagai “si jago lamban” hampir-hampir saja melekat permanen pada diri saya dimata orang-orang kampung yang sikap usilnya tidak ketulungan sudah sejak mereka dilahirkan. Mau bagaimana lagi, pepatah terlanjur berkata: Kekurangan yang kita miliki memang lebih cepat tercium ketimbang segala prestasi gemilang yang pernah kita raih. Soal ayah saya, ia tetap bersikukuh: Takut jatuh dari motor, merasa lebih aman duduk diboncengan ketimbang mengendalikan stang motor. Tipikal orang yang tak punya bakat berkendara!.

Hadirnya F1Z-R di kolom rumah kami praktis secarah perlahan tapi pasti menghapus steriotip “si jago lamban”.  Dan saya pribadipun merasa bahwa nyaris tak ada kendala sama sekali dengan tunggangan baruku itu. Jikalau saya ingat-ingat lagi, kendalanya cuma ada satu: Mesin susah dinyalakan dipagi hari. Butuh waktu pemanasan rata-rata sekitar 15 menit supaya mesin dapat hidup normal. Kalau cuaca lagi ekstrim (dingin dengan tingkat kelembaban yang tinggi) mesin jadi lebih susah lagi dihidupkan, kadang badan sampai belepotan keringat, mesin belum tentu hidup. Kalau sudah begitu, biasanya saya menyalakan sebatang lilin dan saya letakkan dibawa mesin dekat knalpot, membiarkan lilin itu berada dikolom motor sekitar lima sampai sepuluh menit. Akhirnya, masalah terarasi.

Awalnya saya kira ada masalah dengan mesin motor, dua sampai tiga kali saya kebengkel. Dan kesimpulannya sama: tidak ada yang salah dengan mesin, persoalannya adalah cuaca ekstrim yang ada dikampung saya, tinggal didaerah pegunungan tentu tak pernah lepas dari urusan soal mengatasi cuaca dingin. Dikampung halaman saya, dimalam hari, kadang-kadang motor cuma parkir diudara terbuka sekitar satu hingga dua jam saja, keadaan motor sudah seperti motor yang habis diguyur hujan deras, seluruhnya basah kuyup, sadel mesti dilap kering sebelum ditunggangi. Kabut yang terlampau tebal menyebabkan udara jadi lembab, kadang-kadang jarak jangkauan pandang mata tak lebih dari tiga hingga empat meter jikalau kabut betul-betul tebal, cuaca semacam ini sering-sering terjadi, apalagi dimusim penghujan.

Keyakinan saya bahwa perkara susahnya menghidupkan mesin F1Z-R dipagi hari disebabkan oleh cuaca yang terlampau ekstrim semakin jelas ketika salah satu tetangga dekat membeli motor dengan jenis yang sama. Dan keadaan tetangga saya ini lebih parah lagi, sejak memiliki F1Z-R omelan bernada jengkel sering-sering terdengar dipagi hari. Saking prustasinya barangkali, kadang motor miliknya dijemur begitu saja diudara terbuka, setelah itu berangkat ke kebun. Sore harinya setibanya dari kebun, prustasinya jadi terselesaikan: Hanya dengan dua hingga tiga kali tendang starter, motor meraung-raung seperti mau mengamuk.

Dampak Melonjaknya Harga BBM

Krisis BBM yang secara sporadis melanda beberapa wilayah RI dipenghujung tahun 2000 membawa dampak yang luar biasa terhadap perilaku dan selera memilih motor orang-orang yang tinggal didaerah saya, mesin 2stroke mulai dihindari, orang-orang berangsur beralih pada tipe mesin 4stroke yang lebih irit tapi tetap sesuai dengan medan pegunungan. Brend seperti: Satria-R, Force1, GS, F1Z-R, RX-King betul-betul banting harga. Persoalan yang sama pulalah yang menjadikan F1Z-R saya lebih sering nongkrong dan terbengkalai di kolom rumah.

Tahun 2001, ketika krisis BBM betul-betul memprihatinkan, F1Z-R yang hampir sepanjang waktu terus-terusan nongkrong dikolom rumah terpaksa saya pindah tangankan sebelum harga betul-betul anjlok hinga ketitik yang paling tidak rasional, jadinya karena cepat tanggap terjuallah 8,5 Juta.

Sedih rasanya melepaskan sesuatu yang teramat berharga dalam hidup...

Perasaan itu terus saya sabar-sabarkan sembari terus berharap bahwa: Kekacauan ekonomi yang melanda negara dapat dengan segera teratasi. Setidaknya dalam penantian yang penuh harapa itu—seingat saya, kurang lebih enam kali pemerintah mengeluarkan kebijakan (penyesuaian ulang soal subsidi BBM) untuk menstabilkan harga di tahun 2002, dan tiga kali ditahun 2003. Harga memang sempat stabil dengan kebijakan itu tapi hanya sebentar dan dampaknya tidak sampai merembes hingga kepelosok ditempat saya tinggal.

Tahun berikutnya (2004) harga BBM justru semakin memburuk yang barangkali sedikit banyak dipengaruhi oleh iklim politik internasional: Invansi AS atas Iraq (Maret,2003) sebagai negara penghasil minyak besar dunia ternyata memberi dampak yang buruk terhadap harga BBM dalam negeri. Selain itu, beberapa sumur minyak lokal banyak yang ditutup (tidak produksi lagi).

Mencermati keadaan diatas. Saya seperti dengan sendirinya merasa bahwa: Pupus sudah harapan bagi saya untuk kembali menunggangi F1Z-R. Maka pertengahan tahun 2004 saya putuskan untuk menjatuhkan pilihan pada VEGA-R sebagai alternatif pengganti motor impian saya, pilih yang bekas karena merasa bahwa ia hanya pengganti untuk sementara waktu, sampai kondisi ekonomi kembali membaik.

Kenapa VEGA-R, tentu selain karena penampilan fisiknya kurang lebih dapat mewakili penampilan F1Z-R yang harus saya pindah tangankan secara terpaksa dulu. Diantara seluruh produk dari berbagai merek yang ada di tahun itu, menurut penilaian saya secara pribadi: VEGA-R irit bahan bakar dan kualitas mesin serta style bodinya unggul diantara motor-motor sejenis yang ada dimasanya. Tunggangan alternatif yang saya niatkan sebagai alternatif pengganti sementara ini ternyata bertahan hingga sekarang. Meski saat ini penampilannya sudah tidak karuan karena habis diprotoli oleh adik saya yang gila modifikasi, tapi bagi saya, ia masih cukup mempuni untuk dijagokan walau BBM mondak berulangkali.

Respon Teknologi

Dewasa ini, kondisi politik, iklim global, dan ekonomi dunia yang tidak menentu membawa semacam kekacauan yang menjadikan masyarakat menjadi serba hati-hati dalam mensikapi kemajuan teknologi. Pemanasan global, yang kemudian mengharuskan setiap orang agar sadar sejak dini untuk menguragi tingkat pembuangan emisi. Politik global yang kain memanas (AS dan Iran) secara langsung memberi dampak terhadap harga-harga komoditi tertentu, terutama soal harga minyak Dunia. Sedangkan kondisi ekonomi indonesia saat ini, praksis subsidi BBM masih terlalu membebani APBN negara/tahunnya, rumor beredar bahwa subsidi BBM bakal dihapuskan dan kemungkinan rumor itu benar, mengingat saat ini upaya konversi gas menjadi bahan bakar kendaraan umum semakin gencar dilakukan.

Menurut hemat penulis, munculnya teknologi injeksi (Fuel-injection) yang saat ini terus dikembangkan oleh pihak produsen motor tentu dimaksudkan untuk menjawab dua tantangan dari tiga tantangan diatas yaitu: Isu perubahan iklim bumi dan perubahan landscape perekonomian Indonesia dewasa ini.

Lantas teknologi Injeksi seperti apa yang bakal berkembang dimasa yang akan datang?, tentu sangat tergantung pada grand desain ekonomi Indonesia yang ada saat ini. Dimana kecendrungan penggunaan bahan bakar fosil secara sistematis semakin dikurangi, digantikan dengan penggunaan gas alam dan bio-fuel sebagai alternatif. Soal gas alam, indonesia kaya akan sumber daya gas, terlebih lagi, mesin konversi gas sebagai pengganti BBM semakin massif diproduksi akhir-akhir ini. Hanya saja, soal harga masih terlampau mahal.

Sejauh yang penulis amati, diantara hingar-bingar kemajuan teknologi dewasa ini, agaknya ada suatu kecendrungan umum yang secara massal membentuk suatu image dikepala setiap orang bahwa: Teknologi baru selalu harus bersanding dengan biaya (harga) mahal. Kenyataan dilapangan memang menunjukkan kecendrungan seperti itu; Tak ada teknologi baru yang berharga murah.

Teknologi injeksi seperti apa yang akan dipilih?, tentu jawabanya ada pada pihak regulator dan produsen. Masyarakat sebagai konsumen selalu berada pada pihak yang bersikap rasional dalam merespon segala perubahan. Dan biasanya harga merupakan bahan pertimbangan yang paling fundamental dalam alam rasionalitas masyarakat sebagai konsumen.

Jika penulis sendiri ditanya seperti itu maka saya akan menjawab: Dulu, saya jatu hati pada Yamaha F1Z-R karena tidak mau terbelakang soal kecepatan, style, dan tentunya bahan obrolan didepan teman-teman sepergaulan. Tapi, itu saya belasan tahun silam; itulah saya di usia remaja, selalu tampil karena mengharapkan pengakuan, ingin diterima dengan status tertentu, setidaknya orang-orang akan berkata “wah...hebat...!". Barangkali belum cukup umur untuk berfikir secara rasional bahwa teknologi diciptakan bukan untuk hal-hal yang terlampau remeh dan absurt macam itu. Teknologi sepeda motor bukan untuk menciptakan kesan: Bila seorang pengendara melintas maka segala yang ia lewati tersapu begitu saja; jemuran diterbangkan puting beliung, burung-burung sampai rontok bulu-bulunya, bahkan jembatan yang mestinya kokoh layaknya beton, runtuh karena kedahsyatan teknologi...?

Dipenghujung tahun 2010, adik laki-laki saya hendak beli motor dan meminta saran ke saya. Mau beli motor laki katanya. Dia sudah punya beberapa pilihan: Scorpio (second), Tiger, dan Vixion, yang tentunya ketiga pilihan ini didasari oleh batasan jumlah uang yang ia miliki. Saran saya tentu Vixion untuk merek Yamaha, selain harga yang cukup miring untuk kelas motor laki, Vixion juga mewakili teknologi terbaru (injeksi) yang cukup mumpuni dan ideal sebagai perwujudan kemajuan dan kecanggihan teknolodi dunia motor yang ada saat ini, guna merespon isu perubahan iklim. Tiger tentu sudah jelas soal irit bahan bakar, hanya saja harganya lebih tinggi terpaut 3-3,5 Juta ketimbang produk pabrikan pesaingnya (Vixion). Scorpio tentu tidak saya sarankan sebab ia produk second, yang kemungkinan sedikit banyak mesinnya sudah dikorek (diutak-atik), dan terlebih lagi sesuai dengan omongan beberapa teman: Scorpio lumayan boros soal konsumsi bahan bakar.

Berselang satu minggu kemudian, adik saya menelpon. "Saya ambil Scorpio" sapanya cukup antusias lewat telpon seluler. Spontan saya bertanya: Kenapa bukan motor baru (Vixion atau Tiger)?. sambil terkekeh-kekeh adik leleki saya berkata: Tiger baru terlampau mahal, Vixion susah dimodifikasi...! Mendengar itu, saya cuma bisa geleng-geleng. Tiap-tiap orang tentu memiliki selera yang berbeda-beda!.

Menjamurnya Komunitas Biker’s

Sebesar apa pun perubahan itu terjadi. Sepeda motor sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat, ia adalah elan vital soal efisiensi jarak dan waktu, penopang berputarnya roda ekonomi masyarakat. Dan yang tidak kalah pentingnya lagi: Motor mampu menciptakan suatu komunitas tertentu yang didalamnya orang-orang dapat saling berinteraksi, berbagi, saling menolong antara satu dan lainnya.

Saat ini, sudah tidak terhitung lagi jumlah Club (komunitas) yang terhimpun lewat kesatuan dan kesamaan citarasa yang sama “sesama pencinta motor”. Mulai dari komunitas motor lawas hingga yang terbaru, dari yang harga mahal hingga yang murah. Semuanya memiliki citarasa masing-masing. Bahkan ada yang lebih ekstrim lagi, citarasa “sesama pencinta motor” itu diracik sedemikian rupa sehingga menjelmah menjadi persaudaraan yang begitu mengakar.

Sebutlah satu contoh brend yang tidak lagi ditemui produk-produk barunya dalam negeri: Komunitas Vespa Indonesia. Dalam komunitas ini, nuansa egaliter betul-betul mengakar hingga pada persoalan hak-hak yang paling mendasar dalam hidup manusia. Kalau ada yang mogok atau kehabisan bensin diperjalanan, maka yang lain, bila kebetulan melintas disitu, bisa dipastikan berhenti dan menawarkan bantuan. Padahal, bagi orang yang menolong terlebih lagi yang ditolong, merupakan kali pertama perjumpaan mereka kala itu. Tidak saling kenal, tetapi saling mengikat diri dalam persaudaraan dan saling tolong-menolong.

Saya kira, nuansa kebersamaan semacam ini mulai merambah hampir disemua komunitas motor yang ada saat ini. Kebersamaan dalam selera dan cita rasa bukan semata-mata karena satu brend “merek”, melainkan nuansa egaliter. Meskipun pada kenyataannya nunsa eksklusifitas masih sangat kental dijumpai diantara sesama komunitas-komunitas pencinta motor yang berbeda platform. Itulah tugas besar kita, sebagai sesama pencinta Biker’s. Apa pun teknologinya (motor), manusianya tatap adalah makhluk yang paling rasional dan paling menjunjung tinggi nilai kebersamaannya.

Soal motor, tentu sangat tergantung pada selera...!

Soal teknologi, masyarakat sebagai konsumen selalu berada pada pihak yang bersikap rasional dalam merespon segala perubahan. dan biasanya, harga merupakan bahan pertimbangan yang paling fundamental dalam alam rasionalitas masyarakat sebagai konsumen.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline