Lihat ke Halaman Asli

Agus Priyanto

sodarasetara

Istilah Gaduh dan Revolusi Mental di Tahun Percepatan

Diperbarui: 10 Januari 2016   22:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Foto diambil dari Forum Keadilan"][/caption]

“POLITIK penjarahan adalah inti dari politik oligarki sejak rejim Orde Baru hingga sekarang. Begitu menurut sebuah teori oligarki. Agar praktik penjarahan oligarki tersebut bisa berlangsung, dibutuhkan sebuah aliansi sosial. Dalam setiap aliansi tentu ada negosiasi dan kompromi di antara pihak yang berjaringan. Akan tetapi, tentu juga ada kompetisi dan konflik yang mewarnai hubungan kuasa. Oligarki berada dalam posisi kuat menguasai tatanan yang mengutamakan penumpukan modal sebagai cara utama bagi keberlangsungan dan berkelanjutannya hubungan-hubungan masyarakat. Oligarki menjalankan politik penjarahan dengan memobilisasi sumber daya kekayaan dan kekuasaan yang mereka miliki dan dapat mereka konsolidasikan. Semakin kecil tantangan terhadap oligarki, semakin dominan juga pengaruh mereka dalam menentukan segala aspek masyarakat. Tantangannya kemudian, bagaimana melakukan kontra mobilisasi terhadap mobilisasinya oligarki.”

Irwansyah dalam “Mobilisasi Melawan Oligarkhi”, Indoprogress.com

Istilah gaduh akhir-akhir ini menjadi istilah yang dominan digunakan oleh para pejabat dan sebagian kalangan dalam menilai dinamika yang berkembang selama 1 tahun perjalanan pemerintahan Jokowi dan jajaran kabinetnya. Memang, sebagian dari kita merasakan bahwa selama kurun waktu sekitar 10 tahun terakhir di era pemerintahan SBY yang terlihat penuh pencitraan, dinamika dalam menentukan kebijakan-kebijakan pemerintah yang menyangkut hajat hidup orang banyak minus keterlibatan atau partisipasi publik didalamnya. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari menurunnya tingkat partisipasi politik publik didalam pilkada pemilu dari 2004-2009.

Dari data Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), angka partisipasi pemilih dalam pemilu 1999  sebesar 91,99% mengalami penurunan menjadi 84,07% pada 2004 dan menurun kembali di 2009 menjadi 70,99%. Sementara itu, peningkatan partisipasi publik pada pemilu 2014 menjadi 76,11% dengan jumlah warga negara yang menggunakan hak pilihnya mengalami peningkatan dari 85% pada pemilu 2009 menjadi sebesar 95-97% dari pemilu 2014 (kompas.com).

Sebagian dari kita selama ini merasakan adanya jarak yang terbentang antara hiruk pikuk kondisi politik yang jauh dari kehidupan sehari-hari rakyat kebanyakan. Namun munculnya figur Jokowi yang terpilih Jokowi sebagai Presiden ke 7 telah mengalami perubahan. Presiden Jokowi, yang dikenal dengan gaya kerakyatannya serta strategi blusukannya yang mampu memutus jarak antara pemimpin atau pejabat publik dengan rakyatnya, telah menciptakan suatu tradisi baru dalam mengikutsertakan rakyat kalangan bawah untuk mengontrol perencanaan, pengawasan dan pelaksanaan program-program pemerintah yang menyangkut orang banyak.

Selama 10 tahun pemerintahan SBY, dinamika yang terjadi dalam pemerintahan memang terkesan tenang. Namun public akhirnya menjadi sadar bahwa dibalik suasana tenang dan penuh dengan jargon politik santun itu ternyata menyimpan ‘borok’ besar dalam tubuh pemerintahan. Kita akhirnya dapat melihat langsung ‘borok’ yang ada dalam 10 tahun pemerintahan SBY itu ketika kekuasaannya mulai berakhir. Satu demi satu kasus korupsi yang melibatkan jajaran kabinet SBY terbongkar oleh publik. Disisi yang lain, klaim keberhasilan pemerintahan SBY dalam menurunkan jumlah pengangguran dan angka kemiskinan selama ternyata tak lebih dari upaya manipulasi indicator kemiskinan serta solusi pengentasan kemiskinan yang mengandalkan strategi utang. Alhasil, awal pemerintahan Jokowi akhirnya harus berhadapan dengan keterbatasan ruang fiskal dalam APBN 2015 yang disusun oleh Pemerintahan SBY. Diawal pemerintahannya, Jokowi akhirnya harus smelakukan perubahan orientasi kebijakan anggaran guna membuka jalan bagi pelaksanaan visi misi dan program aksi “Trisakti dan Nawacita”.

Kini ketika 15 bulan pemerintahan Jokowi dan jajaran kebinetnya bekerja, publik yang selama ini terlibat aktif memberikan dukungan kepada Jokowi sejak Pemilu 2014 yang lalu, ternyata terus mengawal pelaksanaan Visi Misi dan Program Aksi ‘Trisakti dan Nawacita’. Partisipasi aktif yang tumbuh berkembang sejak pemilu hingga sekarang ini nyata-nyata oleh presiden diakui dengan apresiasi yang disampaikannya melalui akun twitter @jokowi pada 12 Desember 2015 lalu.

Tumbuh dan berkembangnya partisipasi publik kita juga dapat kita lihat dari beragam petisi online, solidaritas perjuangan yang terbangun melalui berbagai kanal sosial media seperti dukungan terhadap perjuangan Ibu-Ibu penetang tambang Semen di Rembang dan dukungan penolakan reklamasi teluk Benoa di Bali serta bentuk-bentuk lainnya di dunia daring saat ini memang telah membawa konsekuensi bagi kondisi ruang publik yang ada. Sesungguhnya ini adalah suatu situasi yang wajar ketika muncul persoalan yang menyangkut hajat hidup orang banyak selalu akan menarik partisipasi publik yang luas. Sehingga menjadi wajar suatu kegaduhan ketika soal-soal yang menyangkut hajat hidup orang banyak karena akan membangun kesadaran publik yang berpikir kritis.

Menurut peneliti Soegeng Saryadi Syndicate, Toto Sugiharto, di dalam ruang media sosial itu sesungguhnya hanya informasi yang sesuai fakta yang memperoleh nilai berharga. Oleh karenanya, menurut Toto Sugiharto, keyakinan bahwa informasi itu sesuai fakta, sering kali muncul perdebatan. Dalam berbagai hal yang menarik perhatian publik terjadi tesis yang dilawan oleh argumen antitesis. Keajaiban sering kali muncul di media sosial berupa tercapainya sintesis. Tidak perlu ada seseorang yang menyimpulkan, tapi dari perdebatan tersebut sering kali muncul "kesepakatan sunyi" di antara pihak-pihak yang pro-kontra beserta para "pendengarnya".

Masih menurut Toto Sugiharto dalam opininya di kompas.com, proses munculnya suatu sintesis baru dalam sebuah isu tertentu tersebut berlangsung dalam rentang waktu yang cukup panjang dan kerja-kerja di media sosial tersebut bergerak secara simultan dengan mempertimbangkan visi, misi, ide, ideologi. Saya sependapat dengan pendapatnya bahwa pengguna media sosial bukan orang yang bisa digiring, tapi bergerak dengan kemauan dan kesadaran sendiri karena pengguna media sosial memiliki kecenderungan untuk melakukan ‘double check’ atas berbagai informasi yang ia terima.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline