Lihat ke Halaman Asli

Udang sebagai Solusi Mencapai 5 Besar Negara Eksportir Ikan di Dunia

Diperbarui: 28 April 2021   09:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Saat ini Indonesia masih berada diperingkat Ke-11 negara eksportir ikan di Dunia dengan nilai USD 4,84 Miliar sedangkan China berada di peringkat pertama dengan nilai USD 22,42 Miliar (International Trade Center, 2019). Salah satu cara untuk mendorong Indonesia masuk ke 5 besar negara eksportir ikan di Dunia antara lain dengan meningkatkan nilai komoditas utama ekspor perikanan di Indonesia. Pada triwulan I tahun 2020, nilai ekspor perikanan di Indonesia meningkat 9,82% dibandingkan dengan triwulan I tahun 2019 dengan nilai sebesar USD 1,24 miliar. Pada triwulan yang sama, volume ekspor perikanan juga meningkat sebesar 10,96 % yaitu sebesar 295, 13 Ribu Ton (PDSPKP, 2020).

Meningkatnya nilai ekspor perikanan Indonesia merupakan kabar positif ditengah-tengah turunnya nilai perdagangan pada komoditas lain akibat terkena dampak pandemi Covid-19. Komoditas utama ekspor perikanan pada triwulan I yang masih bertahan ditengah terjadinya pandemi adalah Udang yang merupakan komoditas utama ekspor perikanan dengan presentase sebesar 38% dengan nilai sebesar USD 466, 24 Juta. Sehingga dapat disimpulkan bahwa udang merupakan komoditas utama yang dapat mendongkrak Indonesia memasuki 5 besar negara eksportir ikan di Dunia.

Indonesia bukan pemain baru dalam produksi dan ekspor udang. Menurut data SOFIA, 2020, Indonesia merupakan negara produsen udang terbesar kedua di dunia yaitu sebesar 0,9 Juta ton. China masih merupakan produsen udang terbesar di Dunia yaitu sebesar 1,7 Juta ton dan diikuti oleh Vietnam, India dan Equador. Akan tetapi prestasi tersebut berbanding terbalik dengan peringkat ekspor udang dunia. Saat ini Indonesia masih berada diperingkat Ke-4 negara eksportir udang di Dunia dengan nilai sebesar USD 1,3 Miliar, sedangkan India berada diperingkat pertama dengan nilai sebesar USD 4,3 Miliar (worldstopexport.com akses 2020). Maka dari itu, diperlukan langkah kongkrit pemerintah untuk tidak hanya meningkatkan produksi udang tetapi juga nilai ekspor udang Indonesia.

Permasalahan pada Udang Indonesia 

Budidaya udang di Indonesia masih mengalami banyak kendala sehingga tidak mengalami perkembangan secara optimal, mulai dari sisi sistem produksi dan operasional, teknologi dan sumber daya manusia, regulasi perizinan sampai kepada investasi dan pemasaran.

Kebutuhan benih udang vaname di Indonesia masih diperoleh dari Indukan yang diimpor dari Hawai dan Florida dengan kualitas Spesific Pathogen Free (SPF). Indukan berkualitas SPF tersebut akan menghasilkan benur SPF juga jika hatchery menggunakan standar yang baik, misal melakukan uji kualitas benur terhadap penyakit. Kualitas indukan SPF juga sangat tergantung pada kualitas pakan indukan. Pakan indukan biasanya menggunakan pakan segar, misal cacing laut dan cumi. Kebutuhan pakan indukan di Indonesia masih dipenuhi dengan cacing laut impor hasil budidaya yang berasal dari Belanda, Inggris dan Perancis sedangkan pakan indukan dalam negeri merupakan tangkapan alam yang berpotensi sebagai alur penyebaran penyakit pada udang. Kondisi tersebut membuat benur udang relatif mahal. Hal ini juga dirasakan pada pakan udang, ketersediaan pakan murah dan berkualitas masih belum memadai dikarenakan bahan baku pakan udang masih impor sehingga berpengaruh pada harga.

Jaminan kenyamanan dalam berusaha pada budidaya udang sangat penting bagi perkembangan usaha pertambakan udang di Indonesia. Terdapat setidaknya 2 permasalahan dari sisi regulasi dan perizinan usaha udang, antara lain banyaknya jenis perizinan dan tata ruang lahan yang sering berganti. Perizinan tambak udang saat ini masih belum efektif sehingga mengakibatkan kurangnya kenyamanan berusaha tambak udang. Perizinan tambak udang kurang lebih terdiri dari 21 jenis perizinan dengan melibatkan sekitar 11 instansi baik pusat maupun daerah. Perlunya peran pemerintah dalam mengintegrasikan perizinan tambak udang sehingga tidak merugikan pembudidaya. Perubahan tata ruang baik dalam Rencana Tata Ruang Wilayah, Rencana Detil Tata Ruang dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) berdampak pada kepastian dalam berusaha, misalnya perubahan peruntukan lahan budidaya menjadi konservasi, pariwisata dll. Pemerintah perlu memberikan alternatif solusi bagi pembudidaya yang terdampak perubahan tata ruang, misal penyediaan lahan baru, pemberian waktu peralihan dan lain-lain.

Saat ini sebagian besar budidaya udang di Indonesia masih menggunakan teknologi tradisional. Indonesia memiliki potensi lahan untuk tambak udang seluas 380 Hektar. Peningkatan teknologi budidaya udang Indonesia dapat meningkatkan produktivitas per Hektar. Budidaya udang dengan teknologi tradisional hanya memilik produktivitas <1 ton/ha/siklus, sedangkan produktivitas pada teknologi semi intensif dapat mencapai 10 ton/ha/siklus.

Peningkatan teknologi harus juga didukung dengan teknologi pengolahan limba yang baik, sehingga tidak hanya meningkatkan produktivitas tapi juga berkelanjutan. China, Vietnam dan India sudah mulai menerapkan teknologi RAS pada budidaya udang dengan produktivitas yang tinggi dan ramah lingkungan. Peningkatan teknologi pada budidaya udang memerlukan modal dan investasi. Akses permodalan dan investasi merupakan permasalahan lain pada budidaya udang. Budidaya udang merupakan usaha padat modal apalagi dengan penerapan teknologi.

Indonesia juga perlu meningkatkan teknologi pada sarana prasarana budidaya udang. Selama ini sarana prasarana seperti kincir, pompa dan lain-lain masih impor sehingga meningkatkan harga pokok produksi udang dan tidak dapat bersaing dengan pesaing utama yaitu India, Vietnam dan Equador.

Strategi peningkatan produksi dan ekspor udang Indonesia 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline