Lihat ke Halaman Asli

Apin 'Enggak Sayang' Bu Guru

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apin bersama tiga temannya pulang dari madrasah diniyyah lebih awal dari biasanya. Baru setengah lima sore tapi ia sudah buru-buru berlari ke rumah, padahal biasanya ia akan sampai rumah sekitar pukul lima. Apin juga terlihat lain dari kemarin-kemarin, sebelum masuk rumah biasanya akan teriak-teriak dulu sambil lambai-lambai ngartis: ‘temen-temeeen.. Apin masuk dulu yaaa.. ayuk deh kalok mau mampir...’ meski seringnya cuma sekedar formalitas—karena ia langsung ngacir ke dalam tanpa menunggu jawaban teman-temannya, tapi entah mengapa kali ini Apin hanya berlalu, lari begitu saja.

Apin sungguh terlihat buru-buru. Ia bahkan lupa teriak salam seperti biasanya. Sampai rumah ia lekas mengganti kokonya dengan kaos oblong Krishna favoritnya. Meski baru tujuh tahun, Apin sudah bisa dibilang ‘keren’ karena tidak terlalu merengek ini dan itu, juga tidak terlalu sering minta dibeginikan atau dibegitukan. Tapi belum pula melepas kopyah bolong-bolongnya, macam orang penting ia sudah buru-buru ke belakang menuju dapur mencari papanya. Benar saja, papa Apin tengah masak orak-arik telur-sayur kesukaan Apin. Ia yang sudah tahu kedatangan Apin sengaja pura-pura tak tahu dan tetap bergaya sok konsentrasi dengan masakannya.

“Pah..” Panggil Apin. Papanya masih pura-pura. Apin meringis.

“Abangpapah...” Panggilnya lagi—lebih lengkap. Apin memang sedikit ngawur perihal panggil-memanggil. Papanya menoleh, pura-pura kaget.

“Loh, udah pulang, Pin? Papa nggak tahu, kompornya berisik sih, jadi nggak denger Apin salam.” Papa Apin menyambut tangan mungil Apin. Apin nyengir malu, garuk-garuk kepalanya yang tak gatal.

“Apin lupa salamnya, Pah.. Hihi, assalamu’alaikum, Bangpapah..”

“Wa’alaikumussalam.. Gitu tuh baru keren.. Sana pecinya lepas dulu gih, trus kita makan. Orak-arik telur-sayurnya udah nyolek-nyolek papa nih..” Papa Apin sok melucu sambil mengacak-acak rambut kriwil Apin. Apin nyengir lagi, bukannya Papah, yang nyolek-nyolek telurnya? Apin pura-pura tertawa lalu melempar kopyahnya ke kamar setelah mengacungkan dua jempol untuk papanya. ***

Apin makan berdua bersama Daris—papanya sambil nonton televisi di ruang tengah. Ya, mereka tinggal berdua saja, tapi kalau pulang kerja sore, Daris akan minta tolong Bang Ahsan—yang ini sama Apin dipanggil: Bang Acan—untuk menemani dan mengurus Apin sepulang sekolah.

Daris keheranan melihat prajurit kecilnya melamun. Apinnya yang biasa lahap ketika bertemu orak-arik sekarang menjadi anteng.

“Makanannya nggak enak ya, Pin? Mau makan di luar?” Tanya Daris. Apin sedikit kaget.

“Enak kok, Pah.. Enggak usah. Tapi Apin boleh nggak udahan makannya? Nanti Apin makan lagi deh habis Maghrib..” Rengek Apin. Daris penasaran, namun ia cuma tersenyum, mengambil alih piring Apin.

“Sini papa yang abisin deh..” Pinta Daris. Apin nyengir, seperti ada sesuatu yang mengganggunya. Sesuatu yang masih disimpan. Daris menunggu karena yakin Apin akan segera ‘curhat’ seperti biasa.

“Pah..” Tuh ‘kan?

“Hm?” Daris sambil mengunyah nasi orak-ariknya.

“Bangpapah pernah salah nggak sih?”

“Pernah dong.. ‘Tuh waktu papa pulang telat tapi lupa nggak bilang Bang Acan, Apin kelaperan, Apin marah, trus untung aja Bang Acannya main ke sini sendiri..”

“Trus kalok salah, enaknya ngapain, Pah?” Apin penasaran. Daris mengecilkan volume televisi. Bermuka serius, siap menghadapi prajuritnya yang sedang galau.

“Seingat Apin, papa kemarin ngapain?” Tanya Daris sambil pura-pura mencubit pipi tembam Apin.

“Minta maaf, beliin martabak telor, cokelat, ngasih Apin kopyah baru..” Jawab Apin.

“Martabak, cokelat, kopyah, itu sih gampang, belakangan bisa, Pin. Yang penting minta maaf dulu.. Emang Apin bikin salah sama siapa?”

“Bu Guru.” Singkat Apin.

“Bu Guru mana? Sekolah?” Apin menggeleng.

“Madrasah, Pah. Bu Guru yang baru seminggu, yang kemarin-kemarin Apin ceritain...” Daris ber-oo panjang. Apin melanjutkan cerita.

“Tadi Bu Guru dateng masih pake tas ransel kayak abis dari sekolah, ngajak masuk kelas, tapi temen-temen masih di luar, Apin sama Annan di dalem kelas, Bu Guru ngajak manggil temen-temen tapi temen-temen bilang mau main dulu bentar..” Apin bergaya dewasa—menghela napas panjang, lalu melanjutkan.

“Trus temen-temen masuk, tapi masih pada ribut, Bu Guru juga ngomong, Apin pusing jadinya mau dengerin yang mana..” Apin menunggu respon papanya.

“Apin ikut ribut nggak?” Daris bergaya penasaran. Apin meringis.

“Cuman dikit. Apin bilang sama Annan, pusing ya mau dengerin yang mana? Gitu. Bu Guru ngomong masih nggak ada yang dengerin, kasian. Trus Bu Guru minta Apin sama Annan ambil kapur di kantor, eh malah temen-temen semua ikut keluar... Apin jadi takut, Bu Guru abis nulis bilang ke Apin: mas Faqih Arifin, nanti kalau udah nulisnya temen-temen diajak pulang, ya. Gitu doang trus Bu Guru cuman duduk, dieeem..aja.”

“Trus Apin sama temen-temen pulang?” Tanya Daris. Apin mengangguk mantab, mengiyakan dengan wajah: abis-buguru-nyuruh-pulang-sih— Daris tertawa kecil.

“Bu Gurunya lagi capek kali? Besok Apin ajak temen-temen minta maaf deh ya..” Apin menggeleng dengan ekspresi enggak-berani-pah

“Nggak berani? Bukan Apin dong kalok nggak berani? Papa aja berani, nggak malu minta maaf ke Apin, padahal Papa udah gede, Apin masih kecil. Nah sekarang biar Bu Guru nggak capek lagi, Apin minta maaf dong..” Saran Daris. Apin masih ragu.

“Temenin ya, Pah?” Apin menunggu. “Temenin aja, Apin sama temen-temen, Bangpapah cuman nemenin doang, ya, Pah?” Daris bergaya sok berpikir, lalu ber-okesip sambil mengacak rambut putranya. ***

Sore berikutnya Apin sungguhan diantar-ditunggui papanya di madrasah. Bu Guru yang Apin maksud sedang mengajar kelas lain jadi acara permintaan maaf rencananya mau diganti nanti sepulang pelajaran. Daris keluar sebentar ke minimarket, membeli cokelat yang biasa ia belikan untuk Apin dan membubuhi catatan kecil biar ‘acara’ Apin Cs nanti sukses. Daris tersenyum geli, tiba-tiba teringat kebiasaannya di masa lalu—tujuh tahun lalu saat usianya baru duapuluh tahun: membeli cokelat yang sama, lalu membubuhi catatan kecil. Ah, masalalu. ***

Acara Apin sedang berlangsung. Apin Cs—yang membawa ‘bekal’ dari Daris menghampiri Bu Guru yang sedang merapikan buku.

“Bu Guru..” Panggil Apin lirih, takut-takut. Lalu mereka bersama-sama memanggil guru cantiknya itu. Bu Sekar. Sekar menoleh, kaget. Ada apa ini? Anak-anak itu meringis kompak. Apin mewakili.

“Kita minta maaf ya, Bu.. kemarin dah bikin Bu Guru marah..” Sambil meengulurkan ‘bekal’nya. Sekar terharu. Merasa bersalah. Sekar berjongkok, mengimbangi tinggi mereka.

“Bu Guru nggak marah, cuma capek kemarin, Bu Guru juga minta maaf deh yah?” Sekar mengelus kepala-kepala mungil yang dapat diraihnya, selanjutnya prajurit-prajurit itu mencium tangan Sekar satu per satu—siapa dulu sutradaranya? Tentu saja Daris. Tapi ini bukan drama, Teman.. Lihatlah, mereka terlihat begitu tulus, tanpa latihan sekalipun.

Sekar menerima cokelat dari Apin. Tapi, apa kemudian? Ya Tuhan.. Lihatlah, suasana jadi senyap, wajah Sekar berubah pucat, tertegun membaca catatan kecil yang hanya berisi: Bu Guru, Senyum.. jangan marah lagi.. dengan tanda smile kecil. Sekar gugup. Bicaranya agak berantakan. Terbata.

“Apin, ini.. siapa yang ngajarin.. ini.. dari Apin.. sendiri?” Apin kebingungan, menggeleng. Cokelat yang sama, tulisan tangan yang sama, smiley yang sama... Hal-hal yang sudah lama tidak Sekar lihat dan ia coba lupakan, hal-hal yang sudah lama Sekar coba tutup.. Tapi siapa sangka lubang di hatinya memang masih menganga..

“Kata abangpapah dari kita semua kok..” Sekar terhenyak. Papa?

“Papa Apin? Di mana?” Perasaan Sekar campur-aduk. Apin menunjuk keluar. Sekar gemetaran, gugup mengikuti petunjuk Apin. Bagaimana kalau iya? Bagaimana kalau sungguhan orang itu? Bagaimana kalau bukan? Tapi.. Papa? Oh, ya, papa..

“Bang..D-daris..?” Sekar semakin gugup tak keruan. Ya Allah.. Ini sungguh orang itu! Bang Daris. Abdullah Daris. Apin Cs melongok dari jendela kantor, tak berani keluar. Daris merasa sangsi, ada sesuatu yang berdesir entah di sudut mana. Sudah terlalu lama bagi Daris untuk merasa seperti ini lagi. Seperti mendengar suara seseorang yang dikenalnya, yang sudah dilewatkannya bertahun-tahun, yang ia coba kubur tapi perasaannya malah semakin tumbuh subur. Sekar.

Daris menengok. Tertegun. Bagaimana bisa? Sungguh kaukah ini, Sekar? Sekar Maheswari Badra? Sekar yang istri Aden—

“Sekar?” Hanya itu yang sementara Daris bisa ucapkan. Setelah sekian tahun menutup harapan rapat-rapat, mereka berdua cuma bisa memperlihatkan: senyum kecut, kikuk, senang, gugup, khawatir...***

“Apa kabar, Sekar?” Mereka duduk di antara meja teras rumah Daris. Daris amat gugup, mencoba memulai. Sekar tersenyum. Ya Allah.. Ia sungguh masih sama..

“Baik. Bang Daris sendiri?” Sekar menyeruput teh hangatnya, buatan Daris.

“Sama. Apin...juga..baik.” Senyap. Ah, ya, Apin..

“Oh..”

“Ah ya,” Sekar menyusuli. “Ibunya ke mana, Bang?”

“Sstt.. Nanti Apin dengar. Apin...Nggak punya—maksudku belum punya Ibu.” Daris masih gugup. Dahi Sekar mengernyit. Maksudnya?

“Istrimu..meninggal?” Sekar ingin tahu. Daris menggeleng. Lalu.. bercerai?

“Bukan, Sekar. Istriku nggak meninggal, juga nggak bercerai. Aku memang belum menikah.” Sekar melongo. Lalu Apin?

“Apin anak kakak perempuanku.” Daris seakan membaca pikirannya.

“Anak mbak Rara, Bang?” Susul Sekar. Daris mengangguk.

“Mereka meninggal di kecelakaan mobil. Mbak Rara dan suaminya, Apin masih dua bulan waktu itu, Kar.. Ia kadang menanyakan sih, tapi entah bagaimana ia bisa begitu kerennya menunjukkan gaya melupakan dengan baik..” Senyap lagi.

“Maaf, Bang. Aku nggak tahu..” Sekar tersenyum kecut. Daris menggeleng tak-apa.

“Kamu.. Suamimu..Aden..juga di sini?” Daris menanyakan seorang pria dari masalalu. Aden, teman semasa kuliah Daris. Aden yang lebih dulu menyatakan perasaan dan lamaran pada Sekar waktu itu. Aden yang menang percaya diri, yang tampan, aktivis pula. Aden, teman Daris yang selalu bercerita, meminta saran, mencari tahu tentang Sekar, pada Daris—yang sebenarnya malah sudah lama memiliki perasaan pada mahasiswi junior calon guru tersebut—Sekar. Aden yang selangkah lebih dulu daripada Daris yang hanya berani menyelipkan batang-batang cokelat di kotak pos kontrakan Sekar dengan catatan kecil: Untuk Bu Guru Sekar. Aih, begitu pengecut ‘kan?

“Bang Aden? Bang Aden bukan suamiku, Bang.” Sekar tersenyum. Inikah mengapa kau langsung menghilang tanpa kabar waktu itu, Bang? Daris terhenyak kaget.

“Bukankah Aden melamarmu? Juga tiga bulan kemudian ia bilang mau menikah..” Daris kebingungan. Ini terlalu terlambat kuketahui.. Sekar tertawa kecil.

“Aku nggak menerimanya, Bang. Dan bang Aden menikah dengan orang lain. Seperti itulah..” Daris terseyum kecut, masih gugup. Makin campur-aduklah perasaannya. Ia ingat terakhir kali hanya meninggalkan sebatang cokelat di kotak pos kontrakan Sekar ketika Sekar marah—tak mau bicara padanya yang tanpa izin memberikan informasi tentang Sekar kepada Aden. Cokelat terakhir sebelum hari ini. Cokelat yang bertuliskan sama seperti cokelat hari ini. Ah.. Ternyata sudah cukup lama.

Sekar, e.. maaf, soal Aden.. waktu itu, aku.. cuma.. Aden temanku..” Belum selesai Sekar sudah memotong.

“Sudahlah, Bang. Sudah kelewat lama. Nggak apa..” Sekar tulus. Apa soal itu masih penting, Bang? Yang penting aku bisa bernapas lega sekarang.. Kau, bagaimana?

Apin yang sejak tadi nguping tiba-tiba muncul dari dalam rumah, menyeret kursi plastik kecilnya. Bergaya sok tahu apa yang terjadi, sok menyelamatkan abangpapahnya yang kelewat gugup, menyilangkan kaki bergaya macam orang dewasa. Daris dan Sekar menertawainya, tapi Apin Cuma tersenyum simpul, bergaya cool. Lalu sok serius membuka percakapan.

“Bu Guru temennya Abangpapah?” Sekar tersenyum, mengiyakan.

“Abangpapah baik ‘kan, ya?” Sekar tersenyum lagi, mengangguk.

“Bu Guru sayang Abangpapah?” Sekar tertawa renyah, mengacak rambut kriwil Apin.

“Tapi Apin nggak sayang Bu Guru ‘tuh..” Apin manyun, sok serius. Dahi Sekar mengernyit. Daris menahan tawa.

“Tuh Abangpapah ‘tuh yang sayang sama Bu Guru...” Apin menimpali, tetap bergaya sok dewasa--

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline