Sekitar 90% sampai 95% bahan baku obat di Indonesia adalah hasil impor (sumber: kompas.com). Tahun 2021, nilai total impor bahan baku obat adalah USD 3,36 miliar (sumber: katadata). Nilai itu setara sekitar Rp 48 triliun.
Sebagai negara yang menghampar di garis khatulistiwa, Indonesia diberkati alam dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Maka semestinya negeri ini dapat mengembangkan obat-obatan yang dibuat dari tanaman-tanaman yang berlimpah keanekaragamannya itu, dan mengurangi ketergantungannya pada impor. Bahkan bisa lebih dari itu. Indonesia seharusnya bisa seperti Cina atau Korea yang dikenal dengan obat-obat herbalnya di pasar internasional.
Saya sering berkhayal. Seandainya saya memiliki latar belakang keilmuan yang bisa meneliti kandungan obat atau nutrisi tanaman, saya akan banyak meneliti tumbuh-tumbuhan di Indonesia, untuk menemukan ramuan obat baru, atau sumber pangan baru bergizi tinggi.
Khayalan yang terlambat, karena muncul setelah saya menjadi ekonom, yang membaca data ketergantungan Indonesia pada impor bahan obat yang menggerus devisa, yang melihat banyak kisah tentang besarnya biaya berobat sehingga menyebabkan orang sakit kehilangan banyak aset, yang mendengar bagaimana rumah sakit harus adu argumen dengan pengelola BPJS untuk menentukan besarnya biaya pengobatan yang ditanggung.
Tapi dulu ketika lulus SMA, saya juga tidak pernah terpikir masuk ke Fakultas Farmasi atau Pengolahan Hasil Pertanian. Malah ingin kuliah di Fakultas Teknik. Tapi nggak lolos ujian masuk, dan akhirnya terdampar di Fakultas Ekonomi. Haha.
Menurut saya, barang-barang untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti pangan, energi, dan obat-obatan, sedapat mungkin Indonesia harus mandiri. Tidak tergantung impor. Sebagai konsumen, saya hanya bisa memberi dukungan pada produk-produk domestik, salah satunya, selalu mengandalkan Tolak Angin ketika flu menyerang. Haha.
Perkembangan obat-obatan berbasis tanaman lokal, atau jamu, atau kini lebih sering disebut herbal, di mata saya, tidak terlalu berkembang. Di pasar-pasar tradisional, jenis jamu yang dijual saat ini tidak berbeda jauh dengan saat saya masih kecil, ketika pertama kali mengenal jamu dari almarhum Ibu. Seputar kunir asem, beras kencur, paitan (brotowali, sambiloto, daun pepaya).
Di tingkat industri, dulu saya mengenal Jamu Air Mancur, Jamu Jago, Nyonya Meneer, dan Sido Muncul. Kelihatannya yang terakhir yang berkembang cukup pesat sampai saat ini. Perusahaan kosmetika seperti Mustika Ratu juga mengeluarkan produk ramuan teh yang berkhasiat kesehatan, misalnya Teh Lokol, untuk menurunkan kolesterol.
Tetapi arus utama pengobatan di Indonesia tetap berbasis obat-obatan kimia, yang sebagian besar bahan bakunya harus diimpor. Hampir semua dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia akan meresepkan obat-obatan jenis ini untuk pasiennya.
Di tengah dominasi obat-obatan yang harus diimpor, saya mengenal dokter Sidi. Di papan nama yang ada di depan ruang praktiknya, di daerah Tajem, Yogya, beliau tidak mencantumkan gelar dokter yang didapatkan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), dan menyebut diri sebagai herbalis. Selain di Yogya, setiap Sabtu dan Minggu dokter Sidi juga membuka praktik di Semarang, kota tempat ia menamatkan SMA-nya. Dokter Sidi alumnus SMA Negeri 3 Semarang.
Bahkan dalam perbincangan kami, terungkap bahwa ayah Pakdok ini adalah guru dan pernah menjabat sebagai Kepala Sekolah di SMA tersebut. Mengapa saya perlu menyebut asal usul Pak Sidi? SMA tempat beliau menuntut ilmu itu adalah juga almamater Bu Retno (Menlu) dan Bu Sri Mulyani (Menkeu). Saya kira kedua ibu menteri itu mengenal ayah Pak Sidi.